Kita patut gembira, karena belum lama ini pemerintah Indonesia telah
mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi
Kesehatan. Tentu aturan baru ini menjadi angin segar bagi gerakan
kampanye bahaya merokok, dan dinilai lebih efektif untuk mengingatkan
bahaya rokok bagi pecandu berat. Karena dalam PP ini antara lain
mengatur area peringatan kesehatan bergambar seluas 40 persen di depan
dan belakang kemasan. Setidaknya ada lima variasi gambar “seram” yang
sudah disiapkan untuk dicantumkan pada kemasan produk rokok di
Indonesia, peringatan bergambar berupa gambar gangguan yang diakibatkan
oleh rokok seperti kanker mulut, tenggorokan, impotensi, dan kanker
paru.
Namun
euforia kegembiraan ini janganlah
berlebihan, mungkin dengan alasan butuh waktu untuk sosialisasi hingga
kini aturan tersebut belum juga diimplementasikan ke masyarakat. Belum
lagi kemungkinan gugatan hukum dari industri rokok masih terbuka, karena
PP tembakau ini dinilai mengganggu bisnis mereka. Padahal bila kita
bandingkan, sesungguhnya PP Tembakau di Indonesia lebih “ringan” dari
pada PP Tembakau di negara-negara lain karena mereka sudah mencantumkan
peringatan bergambar hingga 70 persen sejak lama. Bahkan, sejumlah
negara sudah mewajibkan bungkus rokok polos. Seperti Selandia Baru yang
mengikuti langkah Australia, melalui Menteri Urusan Kesehatan
menyatakan, pemerintah akan melarang pemakaian merek dan mewajibkan
rokok dikemas dalam kotak yang berbentuk membosankan dengan peringatan
kesehatan yang eksplisit. Sehingga dengan langkah itu akan “menghapus
sisa-sisa glamor terakhir dari produk mematikan ini” (Kompas, halaman 8,
20 Februari 2013).
Selama ini, industri rokok telah melakukan
pengemasan bungkus rokok dan memanipulasi istilah untuk menarik konsumen
dengan tujuan meningkatkan pesona serta akseptabilitas merokok seperti
istilah
mild,
light, dan
low. Padahal menurut
Departemen Kesehatan RI, istilah tersebut adalah jurus industri rokok
untuk mendongkrak tingkat adiksi konsumen secara perlahan-lahan. Dalam
istilah psikologi sosial, hal ini bisa disebut manipulasi kesadaran. Dan
kita pun tahu, dalam bentuk apapun, kebiasaan merokok tak akan pernah
aman.
Dalam dunia industri rokok juga dikenal prinsip “
Remaja hari ini adalah perokok di masa depan”.
Karena itu bagi produsen rokok, anak-anak dan remaja merupakan aset
berharga bagi keberlangsungan industri mereka. Sehingga perokok usia
muda inilah yang menjadi sasaran dari produk mereka. Karena itu, para
produsen rokok terus membangun citra merokok tampak seolah-olah jantan
atau lelaki sejati. Begitu besarnya pengaruh membangun citra ini
sehingga dalam dunia remaja, kita bisa menemukan istilah “bencong” atau
“tidak gaul”, sebuah label yang disematkan bagi remaja laki – laki yang
tidak merokok.
Mungkin, hal inilah yang menjadi salah satu
penyebab makin meningkatnya pecandu rokok di kalangan remaja. Menurut
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) memperkirakan ada 21 juta
anak Indonesia menjadi perokok dan meningkat setiap tahunnya. Tahun lalu
diperkirakan ada kenaikan hingga 38 persen dari jumlah anak yang
merokok di Indonesia. Sementara untuk Jakarta, tingkatnya diperkirakan
mencapai 80 persen.
Kalau industri rokok sudah menjadikan remaja
kita sebagai pangsa pasar yang menggiurkan. Sebelum semakin banyak
remaja kita menjadi konsumen dan pecandu rokok, sebelum terjerumus dalam
kerusakan yang lebih besar lainnya seperti narkoba. Maka kita sebagai
orang tua harus mewaspadai dan mulai berbenah.
Edukasi melalui keteladanan
Keteladanan
yang baik akan membawa kesan positif dalam jiwa anak. Dan orang yang
paling banyak diikuti oleh anak adalah orang tuanya. Mereka pulalah yang
paling kuat menanamkan pengaruhnya ke dalam jiwa anak. Oleh karena itu,
Rasulullah SAW memerintahkan agar orang tua bersikap jujur dan menjadi
teladan yang baik kepada anak-anak mereka.
Begitu juga dengan
edukasi bahaya rokok, salah satu cara sederhana untuk mengurangi
tingginya perokok aktif adalah melalui keteladanan orang tuanya (ayah).
Keteladanan orang tua yang tidak merokok menjadi pintu gerbang awal
dalam edukasi bahaya rokok. Biasanya, orang tua yang tidak merokok,
kemungkinan besar anak-anaknya juga tidak merokok, karena mereka
senantiasa memperhatikan perilaku orang tuanya. Dan keteladanan ini akan
menjadi imunitas bagi anak-anaknya saat mereka bergaul dengan komunitas
perokok, sehingga keinginan untuk mencoba merokok tidak akan pernah
mereka lakukan. Jadi sebaiknya, edukasi rokok ini diterapkan orang tua
sejak bayi.
Namun disayangkan, orang tua yang seharusnya menjadi
teladan dalam edukasi bahaya merokok malah menjadi contoh buruk. Kita
masih mudah menjumpai di masyarakat, orang tua dengan mudahnya menyuruh
anak-anaknya untuk beli rokok di warung, menggendong anak bayinya sambil
merokok, kiai yang menyampaikan ilmu agama sambil merokok di depan
santri-santrinya. Sesungguhnya contoh buruk ini, tanpa disadari orang
tua telah turut mewariskan dan melanggengkan kebiasaan merokok kepada
anak-anak mereka. Sehingga epidemi rokok di Indonesia sulit diputus mata
rantainya.
Maka kita tidak heran, kalau tingkat konsumsi rokok di Indonesia terus meningkat. Menurut survey
Global
Adult Tobacco Survey (GATS) disebutkan, konsumsi rokok di Indonesia
tahun 2011 sekitar 270 miliar batang. Angka konsumsi rokok ini terus
meningkat karena tahun 1970 konsumsi rokok baru sekitar 30 miliar
batang. Konsumsi rokok di kalangan anak-anak juga terus meningkat.
Alangkah
indahnya dunia ini, jika para orang tua menyadari bahaya rokok ini,
bahaya itu tidak hanya karena ada 4.000 zat kimia beracun yang terdapat
pada sebatang rokok, tapi juga bisa berefek pada kerusakan yang lebih
besar, karena rokok merupakan pintu gerbang awal untuk mengenal narkoba.
Sebelum
terlambat, sebelum kerusakan terus menghantui anak-anak kita, remaja
kita, sebaiknya dicoba, dimulai dari diri kita, tinggalkanlah rokok
sebatang-demi sebatang hingga pada titik tidak merokok sama sekali. Bagi
pecandu rokok, memang hal ini terasa sangat berat, namun bila dilandasi
kesabaran dan perasaan sayang anak maka
insya Allah bisa
dilewati. Karena hal ini sudah dipraktekkan ayah penulis, sejak penulis
duduk di bangku SMP, dan sampai sekarang alhamdulillah ayah tidak pernah
lagi menyentuh barang mematikan ini.
Keterlambatan selalu punya
dampak serius. Tapi mengapa keterlambatan selalu jadi bagian keseharian
kita. Kita terlambat menyadari bahaya rokok ini. Atau kita terlambat
menentukan prioritas masa depan anak dan mendahulukan egoisme demi asap
rokok. Namun, menurut Eri Sudewo dalam bukunya
“Best Practice Character Building Menuju Indonesia Lebih Baik”
halaman 147, mengatakan, tidak ada kata terlambat bagi yang mau
berbenah. Tidak ada paksaan untuk perbaiki diri. Dan, tidak satu manusia
pun yang bisa mengubah orang lain. Semua kembali pada masing-masing.
Maka
sebagai orang tua harus memilih, apakah lebih mengutamakan egoisme kita
menjadi teladan dan mewariskan kebiasaan merokok pada anak-anak kita
atau menyiapkan anak-anak kita, remaja kita lebih berprestasi tanpa
rokok dan narkoba.
Karena anak-anak kita, remaja kita adalah aset
negara dan pemimpin di masa depan. Remaja sangat diperlukan oleh
masyarakat dan negara karena golongan ini merupakan pilar pembangunan
negara. Remaja juga merupakan golongan yang paling berharga serta harta
yang tidak ternilai. Pada mereka jugalah terletak masa depan negara. Ada
pepatah mengatakan “Rusak remaja, pincanglah negara”. Tentu kita tidak
mau hal ini terjadi.
Semoga, pencantuman gambar bahaya merokok ini
bisa menyadarkan para perokok aktif dan menjadi media efektif untuk
mengurangi angka konsumsi rokok di Indonesia, sebuah produk yang
menewaskan 239 ribu warga Indonesia per tahun.
Wallahu a’lam.
By sucipto SE