Oleh Seno Margo Utomo (Anggota DPRD kabupaten Blora dari PKS)
’’Saya berharap komunikasi antarkepala daerah di Blok Cepu ditingkatkan.
Bupati Blora dan Bojonegoro, serta gubernur Jateng dan Jatim lebih
intensif lagi menggalang pertemuan, menjelang puncak produksi’’. Menteri
ESDM Jero Wacik menyampaikan pernyataan itu pada acara wisuda lulusan
STEM Migas Cepu (SM, 30/5/13).
Menteri ESDM menyampaikan penegasan senada di tempat yang sama pada
medio 2012. Waktu itu dia menambahkan dalam ’’memperebutkan’’ dana bagi
hasil (DBH) migas Blok Cepu, antara Blora dan Bojonegoro jangan seperti
antara Malaysia dan Indonesia. Penegasan itu merespons upaya Pemkab
Blora yang hingga kini ’’belum menikmati’’ dana bagi hasil itu (SM,
12/6/13) Total dana bagi hasil migas dari Blok Cepu untuk Kabupaten
Bojonegoro tahun 2012 sudah Rp 400 miliar.
Kontribusi itu diperkirakan terus meningkat hingga Rp 1,5 triliun-Rp 2
triliun pada puncak produksi tahun 2014. Sebagai pembanding pada tahun
yang sama, Pemkab Blora mendapatkan ’’hanya’’ Rp 2,5 miliar. Realitas
itu terasa menyakitkan bagi Blora sebagai pemilik wilayah kerja
pertambangan (WKP).
Perbedaan itu memunculkan ketimpangan sosial dua kabupaten yang hanya
dipisahkan oleh Bengawan Solo. Dengan sumbangan dari dana bagi hasil
migas, APBD Bojonegoro dalam 2-3 tahun ke depan diprediksikan bisa Rp 2
triliun lebih. Adapun APBD Blora diproyeksi Rp 1,5 triliun. Untuk
memperjuangkan dana bagi hasil, Pemkab Blora membentuk Tim Transparansi
Migas, untuk mengadvokasi soal pembagian besaran dana bagi hasil.
Pembagian itu mendasarkan letak mulut sumur migas.
Akibatnya, kendati memiliki 36% wilayah kerja pertambangan, Blora ibarat
tak mendapat hasil apa pun. Pemkab harus menunggu eksploitasi beberapa
lapangan migas yang terletak di wilayah Blora, dan tak jelas kapan
dimulai. Yang lebih membuat tidak adil terkait peraturan itu adalah
semua kabupaten/ kota di Jatim ikut menikmati dana bagi hasil kendati
dengan persentase kecil, dibanding Bojonegoro sebagai pemilik wilayah
kerja pertambangan.
Blora yang memiliki wilayah, serta warganya tiap hari menyaksikan
aktivitas eskploitasi, ’’belum mendapatkan’’ apa pun dari dana bagi
hasil itu. Intensitas Advokasi Penegasan terbaru dari Jero Wacik tentu
menjadi angin segar bagi Pemkab Blora dan Pemprov Jateng. Ini bisa
menjadi momentum untuk kembali meningkatkan intensitas advokasi tentang
dana bagi hasil. Terlebih momentum ini beriringan waktunya dengan
penetapan pilgub Jateng. Tanpa mengecilartikan keberhasilan mewujudkan
pembangunan di Jateng, kepemimpinan Bibit Waluyo-Rustriningsih tak
banyak menelurkan kebijakan dan kegiatan berkait dengan Blok Cepu.
Karena itu, harapan baru penulis sampaikan kepada Ganjar Pranowo-Heru
Sudjatmoko untuk lebih gagah mengadvokasi dana bagi hasil migas itu.
Penulis ingat betapa ’’gagah’’ Gubernur (waktu itu) Mardiyanto
memperjuangkan participating interest (PI) Blok Cepu supaya Pemkab Blora
dan Pemprov Jateng mendapatkan secara adil. Dia aktif melobi Gubernur
Jatim Imam Utomo, dan intens menjalin komunikasi dengan pusat. Hasilnya,
Pemprov Jateng mendapat 1,9% dan Pemkab Blora 2,1%, mendasarkan
kepemilikan wilayah atas blok itu.
Pemkab Blora dan Pemprov Jateng harus menyambut secara kritis pernyataan
Menteri ESDM. Landasan prinsip dari advokasi adalah sumber daya alam
untuk kesejahteraan bersama dan menghindari kesenjangan antardaerah.
Kita tak ingin melihat ada kesenjangan antara Jateng dan Jatim, serta
antarkabupaten/ kota di dua provinsi tersebut. Jika Pemprov Jateng hanya
melewatkan momentum itu, hingga tahap puncak produksi pun Blora dan
Jawa Tengah tidak akan mendapatkan manfaat secara langsung dari dana
bagi hasil migas Blok Cepu.