Jakarta - "Tragedi politik" terjadi di Mesir pada 3 Juli 2013, ketika
kudeta militer menyirnakan harapan perbaikan dari perjuangan mulia demi
kebebasan yang dimulai dari revolusi 25 Januari 2011.
Rakyat Mesir telah berjuang demi kebebasan, stabilitas, keadilan,
demokrasi, dan telah memilih parlemen dan presiden setelah 70 tahun
menderita otokrasi. Namun setelah melaksanakan Pemilu dan memilih
Mohammad Moursi sebagai Presiden terpilih dengan 52 persen suara, kudeta
militer justru mengambil alih kekuasaan.
Disinilah segala definisi konseptual mengenai kudeta menemukan
relevansinya. Setidaknya terdapat tiga hal perbedaan paling jelas dari
kudeta dari tipe perubahan rezim lainnya seperti pemilu demokratis atau
revolusi massa, ketiga hal tersebut adalah: peralihan kekuasaan diluar
konstitusi (ilegal), mengabaikan kehendak rakyat (anti-demokrasi), dan
pengambilalihan paksa (represif) berbentuk afirmasi struktur sosial dan
institusional.
Pertama, ciri ilegal terlihat dari bagaimana dalam kudeta ini
Menhan, Jenderal Abdul Fattah Assisi yang diambil sumpah oleh Presiden
Moursi, mengambil sumpah dan melantik Presiden baru Adly Mansour untuk
menggantikan Presiden Morsi yang dahulu melantik dirinya.
Kedua, kehendak rakyat diabaikan. Kudeta militer tersebut
serta-merta melupakan hasil Pemilu, menyorot massa yang berkumpul di
Tahrir sambil mengatasnamakan rakyat Mesir, serta mengabaikan sekitar
tiga puluhan juta rakyat di ragam kota, termasuk di Raba'a Adawiyya.
Kemudian El Beredei yang dalam Pemilu hanya memperoleh 1,7 %
pascakudeta diangkat menjadi Wakil Presiden. Persis seperti dikatakan
Edward Luttwak (1979), dalam Coup d'Etat, a Practical Handbook,
keberhasilan kudeta kerap dipawangi oleh fungsionaris elit yang
berkoalisi dengan aktor pemerintahan, militer, dan pemimpin ekonomi yang
ingin melawan kemauan rakyat hasil Pemilu demokratis.
Ketiga, kudeta pada dasarnya merupakan "ketidakstabilan politik elit" (Fosu, 2002), ada pihak statusqois
dari kalangan para jenderal yang masih enggan dipimpin sipil dan
memaksakan kembali bangunan institusi sosial politik yang sesuai dengan
hasrat kekuasaan mereka dalam bentuk pengakuan otoritas penuh.
Kembalinya Statusqouis
Fundamental dari segala kekacauan ini adalah ketidaksiapan mental statusquois
untuk menerima fakta kekalahan dalam Pemilu Parlemen dan Presiden dari
para reformis yang kini menjadi aktor politik domestik baru.
Sayangnya ketidaksportifan statusqouis warisan rezim Mubarak ini dilanjutkan dengan perilaku despotik dengan penggunaan ragam kekerasan politik dan terorisme (political violence and terrorism).
Hingga kini (per 28 Juli 2013) tindakan militer telah menimbulkan
korban meninggal 480 orang, 8.000 orang terluka, dimana 50 di antaranya
sekarat, 1.500 orang ditangkap, dan 9 channel TV ditutup supaya tidak
ada yang meliput pembantaian ini.
Pola kudeta Mesir ini nampaknya hendak diadopsi di negara-negara
lain di kawasan yang tersapu Arab Spring. Di Tunisia, terjadi pembunuhan
misterius terhadap dua anggota perlemen dari oposisi, Chokri Belaid
pada Februari dan Mohammaed Brahmi 25 Juli kemarin. Ini merupakan
provokasi untuk menuntut mundur Perdana Menteri Ali Larayedh, dari
partai pemerintah AnNahdhah.
Sebagaimana pula terjadi
di Turki pada akhir Mei 2013, kolaborasi demonstrasi dan lobi pialang
saham untuk memantik terjadinya kudeta sebagaimana dilakukan di Mesir,
namun AKP yang telah memimpin satu dekade dengan pembangunan ekonomi
fenomenal mampu menanggulangi gejolak dengan baik. Prinsipnya, agar
terjadi ketidaknyamanan pada negara-negara demokrasi baru di kawasan
MENA (Middle East and North Africa/ Timur Tengah dan Afrika Utara).
Tentunya bila didiamkan, gejolak di negara-negara tersebut akan
berdampak pada krisis ekonomi dan demokrasi di kawasan dan kondisi
global pun akan dirugikan.
Pascakrisis ekonomi Eropa sebenarnya dibutuhkan kawasan tetangga, seperti MENA yang lebih stabil. Maka bila statusquo
dibiarkan kembali dengan mengangkangi transisi demokrasi yang sedang
berlangsung, dipastikan kekacauan, diktatorisme, dan defisit demokrasi
terjadi dalam waktu panjang.
Eropa perlu diajak sportif dan percaya dengan fakta bahwa aktor
politik domestik baru di MENA merupakan faksi yang konformis terhadap
iklim demokrasi liberal dalam sistem negara-bangsa yang sekuler.
Sebagaimana ulasan Wadah Khanfar di the Guardians, UK (29 Juli)
bahwa kelompok seperti IM merupakan Islamis yang cenderung pada moderasi
Islam, percaya pada cara damai, perubahan gradual-evolusionis, dan
menyandarkan pertimbangkannya pada rasionalitas politik demokrasi,
mereka musti dibedakan dari persepsi tentang kelompok Salafi Jihadis
bersenjata ataupun teroris Al-Qaeda.
Bali Democracy Forum
Saya pernah bertemu dengan sejumlah pemimpin negara yang mengalami
"Arab Spring" di MENA. Mereka pada umumnya terkesan dengan proses
demokratisasi di Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia.
Beberapa hal yang mereka kagumi dan ingin pelajari, bahkan sudah
menerapkan sebagiannya, adalah seputar pengalaman Indonesia dalam
melembagakan demokrasi, sikap militer untuk mundur dari arena politik
dan kekuasaan, sistem multi partai dan pemilu langsung, hingga mengelola
stabilitas demokratisasi di tengah pluralitas masyarakat Indonesia
dengan ragam aliran dan kelompok sosial-politiknya, serta perkembangan
Bali Democracy Forum (BDF) yang digagas Indonesia sejak 5 tahun silam.
Khusus terkait BDF, saya teringat Kemenlu RI di awal tahun ini
menyampaikan bahwa BDF ke-6 tahun pada November 2013 akan mengambil tema
mengenai Revolusi di MENA dengan tujuan membantu proses transisi
demokrasi di kawasan tersebut.
Antusiasme juga terlihat bahwa jumlah negara-negara demokrasi yang
mengikuti BDF terus bertambah. Hal ini merupakan isyarat bagi Indonesia
bahwa para pemimpin negara-negara tersebut tentu bukan hanya datang
dalam BDF untuk mendengarkan presentasi, namun jauh dari itu mereka
berharap Indonesia berperan aktif mengembangkan demokrasi di sana.
Itu yang saya dengar langsung dari pemimpin di Tunisia, Maroko,
Mesir, Jordan, Bahrain dan beberapa negara lainnya. Bahkan Presiden
Moursi dan Pimpinan Parlemennya pernah "curhat" ke pimpinan DPR-RI dan
delegasi Komisi 1 DPR-RI.
Maka, berdasarkan nilai strategis dan besarnya harapan mereka,
bagaimana pemerintah Indonesia menyikapi kudeta di Mesir tentu menjadi
sangat penting bagi mereka negara-negara yang mengalami Arab Spring. Hal
ini pertama kali bukan karena kita sesama negeri muslim, tetapi atas
dasar komitmen dan konsistensi terhadap pemuliaan dan perjuangan
nilai-nilai demokrasi. Suara Indonesia masih mereka nantikan, bahkan
dari sosok penggagas Bali Democracy Forum (BDF), Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Apakah kita memang sedang terlalu sibuk dengan urusan kita sendiri
sehingga tidak memberikan perhatian terhadap nilai yang membuat
Indonesia terangkat, yaitu demokrasi dan kemanusiaan.
Bukankah sejarah pun mencatat bahwa dalam kondisi Mesir yang juga
masih carut-marut saat itu, Hasan Al-Banna, pimpinan Ikhwanul Muslimin
(IM) di Mesir menjadi penggagas sekaligus pimpinan dari panitia
solidaritas kemerdekaan Indonesia, berkomunikasi aktif dengan
tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, menggalang dukungan dana, dan
bahkan akhirnya berhasil mendesak Presiden Mesir saat itu untuk
menyatakan pengakuan resmi terhadap kemerdekaan Indonesia.
Pertanyaannya kepada kita, bagaimana Indonesia menyikapi "tragedi politik" Mesir saat ini?
Respon kebijakan
Respon terakhir kebijakan luar negeri Indonesia yang dibutuhkan
dalam kondisi yang sedemikian kritis adalah kebijakan aktif dan
transformatif. Pertama, dalam kacamata politik domestik, sebagai negara
demokratis selayaknya Indonesia dapat mengkritisi keabsahan kudeta di
Mesir, sebab dengan demikian ia bermakna mencegah kecenderungan serupa
di dalam negeri dalam sejarah masa depan bangsa kita.
Indonesia juga dapat menuntut agar junta militer menghentikan
kekerasan, dibebaskannya Presiden Moursi, ketua parlemen dan anggota
parlemennya, para politisi yang dipenjara, membuka kembali stasiun TV,
serta memberikan kebebasan sipil dan pers sebagaimana diberikan pada
saat Morsi memimpin.
Kedua, dalam kacamata ideologi, di era pasca-perang dingin, tak
sepantasnya lagi ada kekhawatiran dalam bersikap, sebab blok ekstrim
ideologi Amerika Serikat atau Uni Sovyet sudah tiada, Indonesia dapat
dengan tegas mendorong agar Mesir kembali pada jalur demokratisasi
(democratization path). Terlebih bila kita dapat mendorong stabilitas
demokrasi di MENA itu berarti juga turut menyelamatkan kepentingan
ekonomi dan nilai-nilai demokrasi Eropa dan Amerika Serikat.
Ketiga, sebagaimana layaknya negara demokratis yang tidak merestui
kudeta, Indonesia dapat terus aktif menekan pemenuhan tuntutan
demokratisnya dan membekukan hubungan kedua negara dan hanya
menetralkannya bila terlaksana sebuah perbaikan berarti dan bentuk
kegiatan demokratis, misalnya Pemilu.
Sebab sikap tidak menentang kudeta di negara lain secara tersirat
merupakan kesertaan dalam institusionalisasi dan proyek integrasi
pemerintahan baru hasil kudeta.
Bila sikap demikian mampu dihadirkan, maka Indonesia telah melakukan
pendakian dalam peran internasionalnya, menggenapi keunggulan citra
Indonesia dengan sebuah sumbangsih riil dalam demokrasi dan kemanusiaan
dunia.
*) Ketua Komisi I DPR-RI
Editor: Unggul Tri Ratomo