Ketika Presiden Mesir terpilih
melalui pemilu yang jujur dan demokratis mengantarkan tokoh yang diusung
Ikhwanul Muslimin yaitu Dr Mohammad Mursi ke panggung kekuasaan, maka Mursi
mengangkat Jenderal Abdul-Fattah Al-Sisi menjadi Menteri Pertahanan.
Untuk pertama kalinya Mesir
dikomandani oleh seorang sipil, setelah semenjak Gamal Abdul Nasser, Mesir
selalu dipimpin oleh seorang militer. Banyak pihak beranggapan bahwa ini adalah
kemenangan pihak Islamist di Timur Tengah.
Presiden Mursi segera mendapat
dukungan kekuatan dari pengawal lama, dan Jenderal Al-Sisi, kelihatannya
memiliki kedekatan dengan sang Presiden dengan mengirim telegram. “Kami dari
angkatan bersenjata mendukung Yang Mulia dalam loyalitasnya kepada Mesir dan
rakyat Mesir, kami berdiri di belakang kepemimpinannya sebagai wujud tanggung
jawab prajurit” demikian isi telegram dukungan kepada Mursi itu.
Kini Mursi menjadi tahanan pihak
militer, dilengserkan oleh Jenderal Al-Sisi yang diangkatnya setelah serangkaian
protes massa terhadap kebijakan yang diambil Presiden Mursi. Maka kemunculan
sosok Al-Sisi yang nekat melakukan aksi kudeta disusul dengan penangkapan
tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin ini mengingatkan rakyat Mesir akan sosok Jenderal
Gamal Abdul Nasser yang pada 1970-an menangkapi puluhan ribu anggota Ikhwanul
Muslimin dan menghukum mati tokoh-tokohnya, termasuk di antaranya adalah
penulis Kitab Fii Zhilaalil Qur’an, yaitu Sayid Quthb.
Seperti pendahulunya, yaitu Jenderal
Gamal Abdul Nasser, Anwar Sadad dan Husni Laa Mubarak, yang semuanya berlatar
belakang militer dan bertindak represif terhadap Ikhwanul Mulimin,
tampaknya orang memandang Al-Sisi sebagai sosok Gamal Abdul Nasser baru
yang akan memberangus Ikhwanul Muslimin sampai ke akar-akarnya.
Sosok Al-Sisi yang “bermuka dua”
ini, telah berhasil membuat Ikhwanul Muslimin tertipu untuk kedua kalinya
sebagaimana dulu mereka tertipu dengan Gamal Abdul Nasser. Kini Sisi pun
kembali memainkan dua mata pisau lagi.
Sebagian besar orang Mesir mengira
Sisi akan segera mengembalikan Mesir dalam supremasi sipil, sebagaimana ia
janjikan berulang kali, namun hal ini agak diragukan, mengingat ia kini rajin
menggalang dukungan publik untuk tampuk kekuasaan bagi dirinya sendiri pada
Pemilu mendatang.
Al-Sisi jelas bunglon yang hipokrit
dan khianat. Baru baru ini ia berkata, “Angkatan bersenjata beridiri netral di
antara semua kelompok.” Sisi menyatakan ini kepada rakyat Mesir dalam pidatonya
baru-bari ini sambil menjanjikan akan menyelenggarakan pemilu demokratis yang disupervisi
oleh dunia internasional.
Namun bagaimana angkatan bersenjata
netral jika kemudian ia meminta rakyat Mesir mendukungnya dalam kampanye
terselubung untuk pemilu yang akan dating? Dan ia minta kepercayaan rakyat
Mesir untuk mendukung apa yang disebut sebagai perang melawan “kekerasan dan
terorisme” yang tentu saja maksudnya dialamatkan kepada gerakan Islam yang
menjadi lawannya.
“Marilah kita bahu membahu dalam
memikul tanggung jawab bersama tentara dan polisi,” katanya.
Sifat seperti bunglon dan khianat
Al-Sisi dimulai ketika Presiden Mursi memilihnya sebagai menteri pertahanan,
karena saat itu Al-Sisi adalah jenderal yang sedang naik daun. Dia pernah
menjabat sebagai kepala intelijen militer ketika dikirim sebagai pejabat
pertahanan untuk kursus ke Amerika. Pada tahun 2005, dia ditraining di United
States Army War College di Pennsylvania, dimana dia secara khusus dilatih dalam
bidang hubungan militer dengan sipil bersama gurunya, yaitu Kolonel Stephen J.
Gerras.
Selama sekolah di akademi perang itu,
Jenderal Sisi bergulat dengan pertanyaan mengenai “Demokrasi di Timur
Tengah”—itulah judul tesis yang ia tulis. Tulisannya lebih bersifat pencarian
ketimbang dogma, yang sebagian besar dipengaruhi oleh perang Irak dan kritik
terhadap Amerika yang berusaha menerapkan demokrasi di wilayah tersebut.
Jenderal yang ditraining oleh
Amerika dan kini telah berminggu-minggu berkonfrontasi dengan aksi duduk yang
diprakarsai oleh Ikhwanul Muslimin, menampilkan 3 episode buruk pembunuhan
demonstran oleh aparat keamanan semenjak 2011. Rezim palsu produk kudeta telah
memberikan perintah untuk mengakhiri dengan upaya apapun aksi duduk dan damai
massa rakyat pro Mursi. Maka, bersimbahnya darah pun jadi pilihan rezim yang
dikendalikan militer ini.
Orang tertipu dengan sifat bunglon
dan pengkhianatannya. Karena, dulu dia mengkritisi praktik otoriter pemerintah
Husni Laa Mubarak yang dia katakan menindas Mesir, di antaranya dengan praktik
pemilu yang diatur dan media yang dikontrol dan disensor serta tokoh oposisi
yang kerap diintimidasi. Al-Sisi juga mengritik sikap rezim (Husni Laa Mubarak)
yang bertindak represif terhadap “ulama dan tokoh agama“ dan menjebloskan
mereka ke penjara tanpa pengadilan.
“Dunia Arab membutuhkan versi
demokrasinya sendiri,” kata Asisi dalam tesisnya. Al-sisi menunjukkan
gaya moderatnya dalam ber-Islam yang disukai Amerika. Ia mengatakan bahwa
pendidikan dan pengentasan kemiskinan adalah elemen yang kritikal. Dia juga
mengatakan dalam tesisnya, bahwa gerakan Islam perlu dilibatkan dalam proses
demokratisasi ini, bahkan termasuk kelompok yang radikal sekalipun.” Di satu
sisi ia bermaksud memuaskan Amerika dan di sisi lain ia merangkul kalangan
islam.
Ibarat omongan pagi tidak terpakai
sore, semua kritik terhadap sikap represif pemerintah Mesir yang ia tulis dalam
tesisnya kini ia praktikkan sendiri dengan menangkapi tokoh Ikhwanul Muslimin.
Ia juga bertekad menghentikan aksi duduk yang dilakukan oleh massa pendukung
Mursi dengan cara apapun, kalau perlu dengan kekuatan senjata.
Akibatnya ratusan orang tewas diterjang timah panas aparat
keamanan Mesir. Masihkah kini rakyat Mesir mempercayakan kursi Kepresidenan
pada seorang tokoh bunglon dan khianat seperti Al-Sisi? Jelas ia tidak akan
mengembalikan panggung politik kepada supremasi sipil, justru faktanya sudah
jelas bahwa ia akan meniru pendahulunya Gamal Abdul Naser yang memerintah Mesir
secara otoriter.
Al-Sisi jelas akan mengembalikan
Mesir dalam genggaman militer, dan berkomitmen memberangus gerakan Islam. Maka
demokrasi ala Al-Sisi adalah demokrasi yang terpimpin atau demokrasi yang
terkontrol, yaitu dikontrol ketat oleh pihak militer.