Oleh: AM Waskita, Penulis “Air Mata Mursi”
BILA kita saat ini melihat situasi politik di Mesir, pasca kudeta
militer Jendral As Sisi 3 Juli 2013, akan terlihat di sana betapa heroik
perjuangan para pemuda Ikhwanul Muslimin dan pendukungnya, untuk
mempertahankan hak-hak politik yang telah mereka raih. Kegigihan
perjuangan ini mengundang simpati besar, tetapi juga menimbulkan
persepsi negatif di mata masyarakat awam. Terlebih ketika berjatuhan
ratusan korban jiwa. Sebagian orang menyebut Ikhwanul Muslimin terlalu
ngeyel, mau menang sendiri, susah diajak kompromi.Sebagai Muslim yang
tidak tinggal di Mesir, tidak nelihat dari dekat kondisi kehidupan di
sana, tidak mengikuti kilasan sejarah mereka, tidak hadir bersama
nafas-nafas, tangisan, dan tertawa mereka; paling kita hanya bisa
menilai dari jauh. Di sini ada hak-hak ukhuwwah yang harus kita
tunaikan, khususnya kepada saudara-saudara kita dari kalangan Ikhwanul
Muslimin.
Dalam riwayat disebutkan sabda Nabi Saw: “Al mukminu lil mukmini kal
bunyan yasyuddu ba’dhuhu ba’dha” [orang Mukmin satu dengan yang lainnya
seperti sebuah bangunan, satu sama lain saling menguatkan. HR. Bukhari
dan Muslim]. Syaikh Hasan Al Banna rahimahullah menyebutkan hak minimal
seorang Muslim atas Muslim lainnya ialah Salamatus Shadr. Maksudnya,
selamatnya hati kita dari prasangka-prasangka buruk kepada sesama
Muslim.
Sebenarnya merupakan hak bagi para pemimpin Ikhwanul Muslimin untuk
menjelaskan kebijakan dan langkah-langkah mereka kepada kaum Muslimin
secara terbuka. Tetapi dalam situasi saat ini kita tahu betapa
“rempong”-nya situasi yang mereka hadapi. Oleh karena itu, kita cukup
sadar diri saja, tidak menuntut banyak, dan coba mencarikan
sebanyak-banyak alasan untuk memahami kondisi mereka. Semoga kelapangan
hati kita atas saudara Muslim, akan melapangkan rahmat Allah atas kita
semua. Amin Allahumma amin.
Nyali Besar
Dalam konflik politik yang terjadi di Mesir saat ini, semua pihak
menyadari betapa besarnya nyali para pemimpin Ikhwanul Muslimin,
termasuk Presiden Muhammad Mursi. Mereka kini berada dalam tekanan luar
biasa militer Mesir, hingga telah jatuh ratusan korban jiwa. Mereka
mendapat tekanan kuat dari Amerika dan Uni Eropa; mendapat tekanan hebat
dari pemimpin Saudi dan Emirat; mendapat tekanan hebat dari media-media
massa Mesir; juga tentunya mendapat tekanan dari anasir gerakan Tamarod
yang dikomandoi El Baradei. Tetapi pemimpin-pemimpin Al Ikhwan itu
seperti tidak gentar sama sekali. Apakah Muhammad Mursi, Al Beltaghi,
Jihad Al Haddad, Hisyam Qandil, Muhammad Badie, dan lainnya seperti
tidak mempan ditekan.
Jangankan mereka berniat kompromi, atau melunak sikapnya, mundur
langkah saja tidak. Mereka tetap pada keyakinan, kudeta militer Jendral
As Sisi tanggal 3 Juli 2013 adalah bathil alias tidak sah; hak-hak
Presiden Mursi harus dikembalikan ke tempat semula. Malah mereka terus
mengorganisir kekuatan massa untuk membatalkan kudeta militer, berpusat
di depan Masjid Rabi’ah Al Adawiyah. Hal itu pula yang membuat Jendral
As Sisi nyaris frustasi, sehingga meminta mandat dari rakyat untuk
melakukan “persatean” terhadap para demonstran pro Presiden Mursi.
Bahkan pemimpin Al Ikhwan sendiri terus melancarkan tekanan politik ke
arah militer sehingga mereka tambah gulung kuming (kesetanan).
Seperti saat Presiden Mursi diancam oleh Jendral Shidqi As Shubhi,
panglima Garda Republik, dengan enteng dia menjawab, “Daripada
mengkhianati amanah rakyatku, lebih baik kalian membunuhku. Itu lebih
ringan bagiku.” Masya Allah, beliau lebih takut dengan pengadilan di
Akhirat daripada menghadapi moncong senapan pihak militer. Di mata para
pemimpin Al Ikhwan, seolah kematian sama saja dengan kehidupan; siapa
yang berani hidup, harus siap mati kapan saja ia mendatangi.
Luar biasa nyali para pemimpin Al Ikhwan Mesir. Mereka seperti
kompak, seia sekata, dan tidak menyerah. Nyali seperti ini hendaknya
menjadi pelajaran bagi para pejuang-pejuang Islam lainnya, khususnya di
Indonesia. Kita harus memiliki nyali sebesar itu dan teguh pendirian.
Jangan lemah dan menyerah menghadapi tekanan, demi meninggikan Kalimah
Allah Ta’ala.
Trauma Negara Intelijen
Sikap kuat para pemimpin Al Ikhwan di Mesir jangan dipahami sebagai
sikap ngeyel yang irrasional. Mereka menempuh hal itu setelah melalui
pertimbangan sangat dalam dan panjang. Bahkan tanda-tanda adanya ancaman
kudeta militer itu sudah mereka rasakan jauh-jauh hari sebelum momen
tanggal 3 Juli 2013. Ketika Presiden Mursi mengajukan Referendum 22
Desember 2012, untuk mengesahkan revisi Konstitusi Mesir, hal itu juga
untuk mengantisipasi risiko kudeta.
Saat militer Mesir mendapat kucuran bantuan dana 1,3 miliar dolar
dari Amerika pada 10 Mei 2013, atau sekitar dua bulan sebelum kudeta;
pasti para penasehat Presiden Mursi sudah menduga bahwa bantuan itu
semacam “memberi amunisi” kepada militer untuk melakukan kudeta. Hal ini
sudah dibaca sejak lama. Dan para pemimpin Partai FJP dan senior-senior
gerakan Al Ikhwan telah mengantisipasi semua ini sejak awal. Mereka
telah menyiapkan diri untuk “the worst scenario”.
Semua ini mereka lakukan karena menyadari, bahwa 60 tahunan bangsa
Mesir berada di bawah kendali pemerintahan militer yang korup,
monopolistik, dan sewenang-wenang. Militer Mesir bisa dianggap sebagai
militer paling sadis bagi para aktivis gerakan Islam. Bahkan mereka
sering menjadi inspirasi kekejaman bagi militer negara-negara lain yang
anti aktivis Islam. Militer Mesir bukan hanya menuntut semacam “Dwi
Fungsi” di Indonesia, bahkan mereka merajalela di bisnis, perusahaan
negara, dan proyek-proyek infrastruktur dan manufaktur.
Situasi traumatik negara intelijen yang pernah hadir di Indonesia
saat Orde Baru, masih lebih parah kondisi di Mesir. Mereka itu bangsa
Arab, identitas Islam, sering membaca Al Qur’an, tetapi kelakuan bisa
lebih parah dari prajurit-prajurit Fir’aun di masa lalu. Masya Allah,
laa haula wa laa quwwata illa billah. Belum pernah kaum Muslimin
mendapat cobaan kekejaman militer melebihi apa yang terjadi di Mesir.
Seolah mereka didirikan untuk membabat setiap bangunan Islam.
Kekejaman militer Mesir bukan hanya bagi aktivis Islam, tetapi juga
bagi rakyat sipil di Mesir sendiri. Banyaknya masyarakat yang mendukung
Referendum yang digagas Presiden Mursi, dan banyaknya massa yang menolak
kudeta militer Jendral As Sisi; adalah pertanda kuat bahwa rakyat Mesir
sudah tidak mau lagi ditindas oleh kekuatan militer yang
sewenang-wenang. Mereka ingin memutus kesewenang-wenangan itu saat ini
juga dan selamanya.
Di titik itu kita harus mengapresiasi perjuangan para pejuang Al
Ikhwan di Mesir; kita harus membela mereka, mendoakan mereka, membantu
mereka semampunya. Jika perjuangan ini berhasil, insya Allah
kekejaman-kekejaman yang sering menimpa para aktivis Islam akan
berakhir. Kelak anggota militer manapun yang biasa menindas para
aktivis-aktivis Islam akan belajar, bahwa semua dosa-dosa kezhaliman itu
akan digulung oleh Allah Ta’ala dengan cahaya keadilan-Nya.
Doakanlah saudara-saudaramu di sana yang sedang mengemban missi
besar, menghadang kesewenang-wenangan rezim militer Mesir. Semoga Allah
Al ‘Aziz menolong mereka, memudahkan langkahnya, menguatkan usahanya,
dan memberikan keberhasilan atas mereka. Amin Allahumma amin.
Hakikat Perang Peradaban
Hakikat lain yang perlu kita ketahui, terkait konflik politik di
Mesir saat ini. Percaya atau tidak percaya, suka atau benci, apa yang
terjadi di Mesir adalah perang peradaban sesungguhnya. Bahkan konflik
ini sebenarnya bukan menghadapi militer Mesir di bawah Jendral As Sisi,
tetapi konflik menghadapi The New World Order itu sendiri.
Kita tahu, sejak Mesir merdeka, atau sejak Gamal Abdun Naser
mengendalikan Mesir pada tahun 1952, negara itu sudah tidak memiliki
kemandirian. Apalagi sejak ditanda-tangani Perjanjian Camp David antara
Mesir dan Israel. Sejak itu posisi Mesir tak lebih sebagai “anjing
penjaga” kepentingan Zionis Israel. Mesir menjadi sekutu paling setia
Israel dari kalangan dunia Arab.
Namun setelah Presiden Mursi menjadi Presiden, sejak 30 Juni 2012,
Israel merasa sangat ketakutan kehilangan sekutu paling setianya.
Seperti diketahui, salah satu missi berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin
sejak era pendirinya, Syaikh Hasan Al Banna, ialah merebut kembali
tanah Palestina yang telah dirampas oleh Yahudi Israel. Hal itu juga
terkait dengan amanat yang pernah dititipkan oleh Sultan Abdul Hamid II
rahimahullah dari Khilafah Turki Utsmani. Beliau tak mau menyerahkan
tanah Palestina ke tangan konsorsium Zionis di bawah ketuanya Theodore
Hertzl, karena ia adalah tanah wakaf milik Ummat Islam.
Presiden Mursi menjadi sasaran yang harus dijatuhkan secepat mungkin,
berapapun harganya, adalah demi melindungi kepentingan Israel. Jika
Mesir terus berada di bawah kendali kepemimpinan Ikhwanul Muslimin, maka
posisi Israel akan sangat terancam. Pastilah pemimpin Al Ikhwan akan
bergerak menuju satu tujuan, untuk membatalkan Perjanjian Camp David.
Lambat atau cepat itu akan tercapai.
Maka posisi konflik politik di Mesir saat ini sangatlah krusial. Kita
kaum Muslimin (terutama diwakili para pejuang Ikhwanul Muslimin) ingin
merebut Mesir dan menyelematkannya agar tidak menjadi “anjing penjaga”
kepentingan Zionis Israel; sementara Jendral As Sisi, militer Mesir,
gerakan Tamarod, media-media massa sedunia (termasuk media-media sekuler
di Indonesia), Amerika, Uni Eropa, dan seterusnya menginginkan Mesir
tetap melayani kepentingan Zionis Israel. Terjadi tarik-menarik yang
sangat kuat dan potensi konfliknya begitu besar. Gerakan Al Ikhwan
seperti Musa ‘Alaihissalam yang sedang menghadang “imperium Fir’aun”
(baca: New World Order).
Lihatlah wahai Muslimin, lihatlah wahai Mukminin, apakah ini konflik
yang kecil? Apakah ini sebatas konflik seputar demokrasi dan jabatan
presiden saja? Anda bisa simpulkan sendiri.
BERSAMBUNG