“
Zullatul ‘Alim zullatul ‘alam, ketergelinciran seorang alim
adalah ketergelinciran alam” kata seorang ulama yang menegaskan peran
alim yang sangat vital bagi keberlangsungan hidup alam semesta.
Kolom
Resonansi Koran Nasional Republika, 21 Mei 2013, menurunkan artikel terakhir dari 2 serial tulisan Ahmad Syafi’i Ma’arif tentang
Pergumulan Teologis dan Realitas Hidup.
Membaca artikel berseri tersebut sangat menarik untuk kita kaji secara
mendalam terutama pada seri yang kedua. Dimana pernyataan beliau yang
dimaksudkan sebagai solusi dari keterpurukan umat Islam hari ini sangat
lantang dan berani.
Analisa beliau tentang kondisi umat berawal dari pembacaan kata-kata
Iqbal yang menurutnya sangat keras terasa dan menyinggung kita sebagai
umat Islam yang hidup hari ini. Konklusinya adalah penyakit
sektarianisme yang masih menggerogoti umat sebagaimana yang diungkapkan
Syafi’i Ma’arif, “Sektarianisme yang dipuja itu adalah pengkhianatan
telanjang terhadap doktrin tauhid yang menjadi inti teologi Islam.”
Selanjutnya mari kita simak penuturannya yang saya katakan lantang dan berani,
“Saya sudah lama berpendapat bahwa baik Sunisme maupun
Syi’isme tidak lain dari ciptaan sejarah yang tidak muncul di era Nabi,
tetapi mengapa masih diberhalakan sampai sekarang? Masing-masing
pendukung sekte berkata merekalah yang mewakili Islam secara benar. Bukankan klaim serupa ini adalah sifat manusia takabbur?
Bagi saya, kita harus punya keberanian teologis untuk membongkar
klaim-klaim palsu hasil sejarah sengketa karena berebut kuasa di
kalangan internal umat itu. Tanpa keberanian itu, saya khawatir, darah
masih akan tertumpah lebih banyak lagi dari kalangan umat yang bernasib
malang ini.”
Lebih jelasnya, “Sektarianisme adalah penyakit kronis peradaban,
tetapi masih saja dibela orang karena dianggap benar,” pungkas lulusan
University of Chicago ini.
Saya mencoba untuk membandingkan solusi dan jawaban dari Syafi’i
Ma’arif di atas tentang kondisi umat yang kita lihat hari ini dengan
solusi dan jawaban yang diungkapkan oleh utusan Allah, Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam, yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, “Jika kalian berjual beli dengan model
al-‘Inah, memegang
dan mengikuti ekor-ekor sapi, ridha dengan pertanian dan meninggalkan
jihad maka Allah akan susupkan kepada kalian (umat Islam) kehinaan yang
tidak akan dicabut sampai kalian kembali kepada agama kalian!”
Beberapa gambaran kondisi umat Islam yang digambarkan oleh Rasulullah
dan menyebabkan keterpurukan umat diatas oleh beliau diringkas sendiri
dalam riwayat lain dengan ungkapan,
Hubb ad dunya wa karahiyat al maut, cinta dunia dan takut mati.
Lengkapnya, ketika Rasulullah mengabarkan kepada para sahabatnya
kondisi yang akan dilalui umat Islam di kemudian hari, “Hampir tiba
masanya umat-umat lain mengerumuni kalian sebagaimana orang-orang
mengerumuni tempat makan.” Ada seorang sahabat yang bertanya, “Apakah
waktu itu kita (umat Islam) sedikit?” Sang Rasul menjawab, “Bahkan pada
waktu itu kalian banyak, tapi kalian seperti buih/ riak yang ada di
lautan. Dan pasti Allah akan mencabut wibawa kalian dari hati mereka
lalu menyusupkan ke dalam hati kalian
Al Wahn.” Seorang sahabat
bertanya lagi, “Apakah Al Wahn itu, wahai Rasulullah?” Sang Rasul pun
kembali menjawab, “Cinta dunia dan takut mati!”
Kedua riwayat di atas dikumpulkan oleh Imam Abu Dawud dalam
Sunan-nya dan dinilai shahih oleh Nashiruddin Al Albani, sang muhaddits abad ini.
Teks (nash) yang sangat gamblang ini membuat kita bertanya-tanya,
apakah Bapak Prof. Ahmad Syafi’i Ma’arif lupa hadis ini atau tidak
membacanya?
Wallahu a’lam mana yang benar atau keduanya salah.
Karena itu, sektarianisme dalam penilaian Rasulullah bukanlah
penyebab utama dari kondisi internal umat yang membuatnya rapuh, tapi
umat Islam yang jauh dari agama Islam karena terpana dengan kehidupan
dunia sehingga terlalu mencintainya dan takut mati itulah yang
membuatnya mundur dan tertinggal dari peradaban lain. Solusi yang tepat
adalah
al Ruju’ Ila al Diin, back to Islam.
Sungguh tepat ketika Amir Syakib Arselan mengatakan, “Kaum Muslimin menjadi mundur dikarenakan mereka meninggalkan agama mereka
dinullah
Al Islam. Sedangkan pihak Barat kafir justeru menjadi maju karena
mereka meninggalkan agama mereka!” dalam bukunya yang berjudul
Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Kaum Selainnya Maju?
Pendapat Arselan diperkuat oleh argumen
Dr. Hamid Fahmi
Zarkasyi, yang berpandangan bahwa tantangan terbesar umat Islam saat ini
adalah terkait erat dengan ilmu pengetahuan sebagai akar dari sebuah
peradaban, katanya, “Peradaban Islam hakekatnya dibangun atas dasar ilmu
pengetahuan Islam yang merupakan produk dari pandangan hidup islam yang
dipancarkan oleh al-Qur’an dan Sunnah. Maka dari itu, tantangan yang
mendasar dihadapi yang dihadapi oleh peradaban Islam masa kini adalah
problem ilmu pengetahuan. Konsep dan tujuan ilmu dalam Islam telah
bercampur dengan konsep dan tujuan dari
wordlview Barat sekuler.
Dari sini masalah berkembang ke bidang social, politik, ekonomi,
pendidikan dan bahkan merambah ke bidang budaya dan gaya hidup. Ide-ide
para pemikir seperti decorates, Karl Marx, Memanuel Kant, Hegel, John
Dewey, Adam Smith dan sebagainya dapat mempengaruhi dan merubah
pemikiran masyarakat. Demikian pula dulu dalam sejarah peradaban Islam,
pemikiran para ulama seperti Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Imam
Ghazali, Ibnu Khaldun dan lain sebagainya mempengaruhi cara berfikir
masyarakat dan bahkan kehidupan mereka. jadi ringkasnya, membangun
peradaban Islam harus merupakan kerja strategis dan sinergis membangun
pemikiran umat Islam, melalui tradisi ilmu dan selanjutnya disebarkan
secara sinergis pula ke tengah masyarakat sehingga ide-ide cendikiawan
atau ulama yang otoritatif dapat menjadi motor perubahan.” (Orasi ilmiah
Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dalam rangka ulang tahun
Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) yang disampaikan di Tawangmangu, 26 Januari 2013).
Takabbur
Selain itu, komentar beliau terhadap orang-orang yang masih memberhalakan sektarianisme yang dikatakannya takabbur perlu di
check and recheck lebih
dalam. Apakah benar orang tersebut benar-benar takabbur? Ataukah mereka
melakukan itu karena melihat agama ini dinodai oleh ajaran yang
menyesatkan sehingga merekapun tampil membela kesucian agama ini.
Sebutlah para ulama, zuama dan cendikiawan muslim yang duduk dalam
Majelis Ulama Indonesia, dimana mereka katakan bahwa metode berislam
yang benar haruslah sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.
(Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, hal 46 tentang faham Syiah dan hal 841
tentang
Taswiyat Al Manhaj; Penyamaan Pola Pikir dalam Masalah-masalah Keagamaan).
Apakah para ulama, zuama dan cendikiawan Muslim itu adalah
manusia-manusia takabbur ketika menetapkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah
adalah manhaj yang benar dalam mengamalkan Islam?
Lebih dari itu Imam Asy Syafi’i pernah mengatakan, “Saya belum pernah
melihat orang-orang ahli bid’ah yang paling pembohong dalam
pengakuan-pengakuannya dan paling sering bersaksi palsu lebih dari
Rafidhah (sekte Syiah).” (Lihat
Ibnu Baththah dalam
Al Ibanah Al Kubra, 2/545)
Apakah Ahmad Syafi’i Ma’arif menilai Imam Asy Syafi’i melalui
ucapannya pada paragraf di atas adalah orang takabbur? siapa yang tidak
mengenal kebesaran dan kehebatan Imam Syafi’i dalam menelorkan
hukum-hukum fiqh?
http://www.fimadani.com/kerancauan-teologi-buya-syafii-maarif-tentang-syiah/
Na’uzubillah.