Isra’ ialah perjalanan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dari
Masjidil Al Haram di Mekkah ke Masjidil Al Aqsha di Al Quds. Mi’raj
ialah kenaikan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menembus beberapa
lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak dapat dijangkau oleh
ilmu semua makhluk, Malaikat, manusia dan jin. Semua itu ditempuh dalam
sehari semalam.
Terjadi silang pendapat tentang sejarah terjadinya mukjizat ini.
Apakah pada tahun kesepuluh kenabian ataukah sesudahnya? Menurut riwayat
Ibnu Sa’d di dalam Thabaqat-nya peristiwa ini terjadi delapan belas
bulan sebelum hijrah. Jumhur kaum Muslim sepakat bahwa perjalanan ini
dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan jasad dan ruh.
Karena itu, ia merupakan salah satu mukjizatnya yang mengagumkan yang
dikaruniakan Allah kepadanya.
Kisah perjalanan ini disebutkan oleh Bukhari dan Muslim secara
lengkap di dalam shahihnya. Disebutkan bahwa dalam perjalanan ini
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menunggang Buraq yakni satu
jenis binatang yang lebih besar sedikit dari keledai dan lebih kecil
sedikit dari unta.
Binatang ini berjalan dengan langkah sejauh mata memandang. Diebutkan
pula bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memasuki Masjidill Aqsha
lalu shalat dua raka’at di dalamyna. Kemudian Jibril datang kepadanya
seraya membawa segelas khamar dan segelas susu. Lalu Nabi Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam memilih susu. Setelah itu Jibril berkomentar,”Engkau
telah memilih fitarh.” Dalam perjalanan ini Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam naik ke langit pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya
sampai ke Sidratul-Muntaha. Di sinilah kemudian Allah mewahyukan
kepadanya apa yang telah diwahyukan di antaranya kewajiban shalat lima
waktu atas kaum Muslim, dimana pada awalnya sebanyak lima puluh kali
sehari semalam.
Keesokan harinya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan
apa yang disaksikan kepada penduduk Mekkah. Tetapi oleh kaum musyrik
berita ini didustakan dan ditertawakan. Sehingga sebagian mereka
menantang Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menggambarkan
Baitul Maqdis, jika benar ia telah pergi dan melakukan shalat di
dalamnya. Padahal ketika menziarahinya, tidak pernah terlintas dalam
pikiran Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menghafal
bentuknya dan menghitung tiang-tiangnya.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memperlihatkan bentuk dan gambar
Baitul Maqdis di hadapan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
sehingga dengan mudah beliau menjelaskannya secara rinci.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Ketika kaum Quraisy mendustakan aku, aku berdiri di Hijr (Isma’il),
lalu Allah memperlihatkan Baitul Maqdis kepadaku. Kemudian aku kabarkan
kepada mereka tentang tiang-tiangnya dari apa yang aku lihat. Berita ini
oleh sebagian kaum musyrik disampaikan kepada Abu Bakar dengan harapan
dia akan menolaknya. Tetapi ternyata Abu Bakar menjawab,”Jika memang
benar Muhammad yang mengatakannya, maka dia telah berkata benar dan
sungguh aku membenarkan lebih dari itu.”
Pada pagi harinya di malam Isra’ itu Jibril datang kepada Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan cara shalat dan menjelaskan
waktu-waktunya. Sebelum disyariatkannya shalat lima aktu, Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dua ra’kaat di pagi hari
dan dua raka’at di sore hari sebagaimana dilakukan oleh Ibrahim ‘Alaihis
Salam
Beberapa Ibrah
Pertama: Penjelasan tentang Rasul dan Mukjizat
Banyak penulis yang begitu gemar menggambarkan kehidupan Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai kehiduapn manusia biasa, jauh dari
hal-hal yang luar biasa dan mukjizat. Bahkan tidak memperhatikan sama
sekali adanya kemukjizatan dalam kehidupan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam dengan berdalil kepada ayat:
“Katakanlah,”Sesungguhnya mukjizat itu hanya berada di sisi Allah…..” (QS Al An’am: 109)
Gambaran seperti ini akan memberikan kesan kepaa para pembaca bahwa
Sirah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sama sekali jauh dari
mukjizat dan bukti-bukti yang biasanya digunakan Allah untuk mendukung
para Nabi-Nya yang jujur dan benar.
Jika kita telusuri sumber “teori” tentang Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam ini ternyata kita dapati berasal dari pemikiran
sebagian orientalis dan peneliti asing, seperti Gustav Lebon, August
Comte dan Goldzieher dan teman-temannya. Timbulnya teori ini disebabkan
oleh tidak adanya keimanan kepada pencipta mukjizat. Sebab jika keimanan
kepada Allah telah menghujam di dalam hati, maka akan mudah untuk
meyakini segala sesuatu. Bahkan tidak akan ada lagi di dunia ini sesuatu
yang berhak disebut mukjizat.
Tragisnya teori ini telah disambut baik oleh sebagian pemikir muda
Muslim, seperti Syaikh Muhammad Abduh, Muhammad Farid Wajdi, dan Husain
Haikal. Mereka menyebarkan pemikiran-pemikiran asing ini hanya karena
tertipu oleh kelicikan tipu daya musuh dan fenomena kemajuan ilmu
pengetahuan di Eropa dan Barat.
Kemudian pemikiran-pemikiran asing yang dikemukakan oleh sebagian
pemikir muda Muslim ini oleh para musuh Islam, khususnya orientalis,
dijadikan alat utuk membuka medanmedan dan ladang-ladang baru untuk
melakuan ghazwul fikri dan menimbulkan keraguan kaum Muslim terhadap
agamanya. Senjata bagi serbuan langsung terhadap aqidah Islamiyah dan
penanaman pemikiran-pemikiran sekuler di benak kaum Muslimin.
Demikianlah mereka mulai memberikan sifat-sifat tertentu kepada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti heroik, jenius,
pahlawan, dan pemimpin dalam arti kata yang serba menakjubkan. Pada
waktu yang sama mereka menggambarkan kehidupan umum Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam jauh dari mukjizat dan hal-hal yang luar
biasa yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran, sehingga dengan
demikian akan tercipta suatu gambaran baru tentang diri Nabi Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam, di dalam benak kaum Muslim. Kadang mereka menamakan
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai seorang jeius, atau
seorang komandan, atau seorang pahlawan. Tetapi sesuatu yang tidak boleh
muncul sama sekali adalah gambaran bahwa Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam sebagai seorang Nabi dan Rasul. Sebab semua hakekat kenabian dan
segala hal yang berkaitan dengannya seperti wahyu, mukjizat dan hal-hal
yang luar biasa lainnya telah dibunag melalui penonjolan
istilah-istilah tertentu, seperti jenius dan pahlawan yang jauh dari
mukjizat ke dalam keranjang mitologi atau dongeng-dongeng yang sudah
usang. Ini karena mereka menyadari bahwa fenomena wahyu dan kenabian
merupaakan puncak kemukjizatan.
Pada saat itulah akan muncul anggapan bahwa sebab kemajuan dakwah
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan banyaknya pengikut yang
setia kepadanya, adalah kaerne faktor kejeniusan dan kepahlawanannya.
Perhatikanlah !Sesungguhnya sasaran yang ingin mereka capai ini nampak
jelas ketika mereka memasarkan istilah „Muhammadaniest” sebagai danti
dari Muslimin.
Tetapi sejauh manakah kebenaran gambaran tentang diri Muhammad
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ini dalam kacamata kajian yang objektif dan
logis?
Pertama, jika kita perhatikan kembali fenomena wahyu
yang nampak dengan jelas pada kehidupan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam (pada bab terdahulu telah dijelaskan secara rinci), nyatalah
bagi kita bahwa sifat-sifat yang paling menonjol dalam kehidupannya
ialah sifat kenabian. Kenabian adalah termasuk nilai-nilai keghaiban
yang tidak mengikuti kriteria-kriteria kita yang bersifat empirik.
Dengan demikian arti mukjizat yang diluar kebiasaan itu tetap ada pada
pangkal keberadaan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tidak mungkin kita
menolak mukjizat dan hal-hal yang luar biasa dari kehidupan Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, kecuali dengan menghancurkan makna
kenabiasn itu sendiri dari kehidupannya. Ini berarti juga penolakkan
terhadap agama itu sendiri, kendatipun kesimpulan ini tidak disebutkan
secara eksplisit oleh sebagian orientalis dan cukup dengan menjelaskan
kejeniusan dan keberanian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Mereka tidak perlu lagi menjelaskan kesimpulan karena telah cukup dengan
muqaddimah. Kesimpulan akan terbentuk secara otomatis setelah diteirma
muqaddimahnya.
Namun banyak pula di antara mereka yang seara terus terang
menyebutkan “kesimpulan” karena kebencian yang tak tertahankan lagi.
Seperti Syibli Syamil ketika menamakan keimanan kepada agama dengan
“keimanan kepada mukjizat yang mustahil”
Dengan demikian tidak ada gunanya lagi membahas keingkaran atau
keimanan mereka terhadap mukjizat, karena sejak awal mereka sudah
meragukan atau menolak dasar agama itu sendiri.
Kedua, jika kita perhatikan Sirah kehidupan
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka akan kita dapati bahwa
Allah telah memberikan banyakmukjizat kepada Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Keberadaan dan kebenaran mukjizat-mukjizat ini tidak dapat kita
tolak begitu saja, karena peristiwa-peristiwa mukjizat itu disampaikan
kepada kita dengan sanad-sanad yang shahih dan mutawatir yang mencapai
tingkatan pasti dan yakin.
Di antara peristiwa memancarnya air dari jari-jari Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mulia. Peristiwa ini diriwayatkan oleh
Bukhari di dalam bab Wudhu’, Muslim di dalam bab Al Fadha’il
(keutamaan), Malik di dalam Al Muqaththa’, dan imam-imam hadits lainya
dengen beberapa jalan yang berlainan. Sehingga Az Zarqani meriwayatkan
perkataaan Al Qurthubi:
Sesungguhnya peristiwa memancarnya air dari jari-jari Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berulang-ulang di beberapa tempat.
Peristiwa ini juda diriwayatkan dari jalan yang banyak, yang semuanya
mencapai tingkatan pasti, bahkan dapat dikatakan mutawatir ma’nawi.
Mukjizat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam lainnya ialah
peristiwa terbelahnya bulan pada masa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
ketika orang-orang musyrik memintanya. Perisitwa ini diriwayatkan oleh
Bukhari di dalam bab Ahaditsul-Anbiya, Muslim di dalam bab Shifatul –
Qiyamah dan imam -imam hadits lainnya. Berkata Ibnu Katsir; ”Peristiwa
ini diriwayatkan oleh hadits-hadits yang mutawatir dengan sanad-sanad
yang shahih.” Para ulama telah sepakat bahwa peristiwa ini terjadi pada
masa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan merupakan salah satu mukjizat
yang mengagumkan.
Dan peristiwa Isra’ Mi’raj yang sedang kita bahas ini juga merupakan
salah satu mukjizat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan sebagian
besar kaum Muslimin telah sepakat bahwa Isra’ dan Mi’raj ini termasuk
mukjizat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang terbesar.
Tetapi anehnya orang-orang yang memberikan sifat jenius kepada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menolak apa yang disebut
mukjizat dari kehidupannya, berpura-pura tidak mengetahui hadits-hadits
mutawatir yang mencapai tingkat derajat Qath’i 8pasti) ini: Mereka tidak
pernah mau menyinggungnya sama sekali, bai dalam konteks positif
ataupun negatif., seolah-olah kitab-kitab hadits tidak pernah memuatnya.
Padahal masing-masingnya diriwayatkan lebih dari sepuluh jalan (sanad).
Penyebab utama daris ikap tidak mau tahu ini ialah karena mereka
ingin menghindari kemusykilan yang akan mereka hadapi manakala membaa
hadits-hadits tentang mukjizat ini. Sebab hadits-hadits ini bertentangan
diametral dengan teori ang ada di kepala mereka.
Ketiga, mukjizat ialah sebuah kata yang jika
direnungkan tidak memiliki definisi yang berdiri sendiri. Ia hanya suatu
makna yang nisbi. Menurut istilah yang sudah berkembang, mukjizat ialah
setiap perkara yang luar biasa. Sedangkan setiap kebiasaan pasti akan
berkembang mengikuti perkembangan jaman dan berlainan sesuai dengan
perbedaan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Mungkin sesuatu pada masa
tertentu, dianggap sebagai mukjizat pada masa sekarang sudah menjadi hal
biasa. Atau mungkin sesuatu yang biasa di lingkungan orang-orang yang
sudah maju, masih menjadi mukjizat di kalangan orang-orang primitif.
Tetapi yang benar, bahwa sesuatu yang biasa dan yang luar biasa itu pada dasarnya adlah mukjizat.
Galaksi ada mukjizat planet adalah mukjizat, hukum gaya tarik aglaah
mukjizat, peredaran darah adalah mukjizat, ruh adalah mukjizat dan
manusia itu sendiri adlaah mukjizat. Sungguh tepat ketika seorang
ilmuwan Prancis, Chatubriant menamakan manusia ini dengan makhluk
metafisik, yakni makhluk ghaib yang misterius.
Hanya saja, manusia telah melupakan karena terlalu lama dan sering
menghadapi dan merasakannya segi mukjizat dan nilainya. Kemudian
mengira, karena kebodohannya, bahwa mukjizat ialah sesuatu yang
mengejutkan dan di luar kebiasaan ini dijadikan ukuran keimanan atau
penolakan terhadap sesuatu. Ini adalah kebodohan manusia yang aneh pda
abad ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seandainya manusia mau berpikir lebih jauh sedikit, niscaya
akannampak baginya bahwa Allah yang menciptakan mukjizat seluruh alam
semesta ini tidak pernah kesulitan untuk menambahkan mukjizat lain, atau
mengganti sebagian sistem yang telah berjalan di dalam semsta ini.
Seorang orientalis, William Johns pernah sampai kepada pemikiran seperi
ini ketika mengatakan:
“Kekuatan yang telah menciptakan alam semesta ini tidak pernah
kesulitan untuk membuang atau menambahkan sesuatu kepadanya. Adakah
mudah untu dikatakan bahwa masalah ini tidak dapat digambarkan oleh
akal. Tetapi yang harus dikatakan bahwa masalah ini tidak tergambarkan,
bukan tidak dapat digambarkan sampai ke tingkat adanya alam.”
Maksudnya seandainya alam ini tidak ada, kemudian dikatakan kepada
seseorang yang mengingkari mukjizat dan hal-hal yang luar biasa, dan
tidak dapat menggambarkan keberadaannya. Akan ada alam. Niscaya dia akan
langsung menjawab,”Ini tidak mungkin dapat digambarkan.” Penolakannya
terhadap gambaran seperti ini akan lebih keras ketimbang penolakkannya
terhadap gambaran adanya mukjizat.
Inilah yang harus dipahami oleh setiap Muslim, baik mengenai
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ataupun mukjizat-mukjizat yang
dikaruniakan Allah kepadanya.
Kedua: Kedudukan Mukjizat Isra’ dan Mi’raj di antara
peristiwa-peristiwa yang telah dialami Rasullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam pada waktu itu.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah merasakan berbagai
penyiksaan dan gangguan yang dilancarkan kaum Quraisy kepadanya. Di
antara penderitaan yang terakhir (sampai terjadinya Isra’ danMI’raj)
ialah apa yang dialaminya ketika hijrah ke Thaif yang telah dijelaskan
pada bab terdahulu. Perasaan tidak berdaya sebagai manusia, dan betapa
perlunya kepada pembelaan, terungkapkan seluruhnya di dalam doa Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diucapkannya setelah tiba di kebun
kedua anak Rabi’ah. Suatu ungkapan yang menggambarkan Äubudiyah kepada
Allah. Dalammunajatnya ini pula terungkap makna pengaduan kepada Allah
dan keingingannya untuk mendapatkan penjagaan dan pertolongan-Nya.
Bahkan ia khawatir jangan-jangan apa yang dialaminya ini karena murka
Allah kepadanya. Karenanya, diantara untaian doanya, terucapkan kalimat:
“Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua ini tidak aku hiraukan.”
Kemudian setelah itu datanglah „undangan” Isra’ dan Mi’raj sebagai
penghormatan dari Allah, dan penyegaran semangat dan ketbahannya. Di
samping sebagai bukti bahwa apa yang baru dialaminya dalam perjanana
hijtah ke thaif bukan karena Allah murka atau melepaskannya, tetapi
hanya merupakan Sunnahtullah yang harus berlaku pada para kekasih-Nya.
Sunnah dakwah Islamiyah pada setiap masa dan waktu.
Ketiga, Makna yang terkandung dalam perjalanan isra’ ke Baitul Maqdis
Berlangsungnya pernajalan Isra’ ke Baitul Maqdis dan Mi’raj ke langit
ketujuh dalam rentang waktu yang hampir bersamaan, menunjukkan betapa
tinggi dan mulia kedudukan Baitul Maqdis di sisi Allah. Juga merupakan
bukti nyata akan adanya hubungan yang sangat erat antara ajran Isa
‘Alaihis Salam dan ajaran Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ikatan
agama yang satu yang diturunkanAllah kepada para Nabi ‘Alaihis Salam
Peristiwa ini juga memberikan isyarat bahwa kaum Muslim di setiap
tempat dan waktu harus menjaga dan melindungi rumah suci (Baitul Maqdis)
ini dari keserakahan musuh-musuh Islam. Seolah-olah hikmah Ilahiyah ini
mengingatkan kaum Muslim jaman sekarang agar tidak takut dan menyerah
menghadapi kaum Yahudi yang tengah menodai dan merampas rumah suci ini,
utuk membebaskannya dari tangan-tangan najis, dan mengembalikannya
kepada pemiliknya kaum Muslimin.
Siapa tahu? Barang kali peristwia Isra’ yang agung inilah yang telah
mengerahkan Shalahuddin Al Ayyubi untuk mengerahkan segala kekuatannya
melawan serbuan-serbuan Salib dan mengusirnya dari rumah Suci ini.
Keempat: pilihan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
terhadap minuman susu, ketika Jibril menawarkan dua jenis minuman, susu
dan khamar, merupakan isyarat secara simbolik bahwa Islam adalah agama
fitrah. Yakni agma yang aqidah dan seluruh huumnya sesuai dengan
tuntutan fitrah manusia. Di dalam Islam tidak ada sesuatu puny ang
bertentangan dengan tabiat manusia. Seandainya fitrah berbentuk jasad,
niscaya Islam akan menjadi bajunya yang pas.
Faktor inilah yang menjadi rahaia mengapa Islam begitu cepat tersebar
dan diterima manusia. Sebab betapapun tingginya budaya dan peradaban
manusia, dan betapapun menusia telah mereguk kebahagiaan material,
tetapi ia akan tetap menghadapi tuntutan pemenuhan fitrahnya. Ia tetap
cenderung ingin melepaskan segala bentuk beban dan ikatan-ikatan yang
jauh dari tabiatnya. Dan Islam adalah satu-satunya sistem yang dapat
memenuhi semua tuntutan fitrah manusia.
Kelima, Jumhur Ulama baik salaf ataupun kahlaf telah
sepakat bahwa Isra’ dan Mi’raj dilakukan dengan jasad dan ruh oleh Nabi
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Imam Nawawi berkata di dalam Syarhu Muslim,”Pendapat yang benar
menurut kebanyakan kaum Muslim, Ulama Salaf, semua Fuqaha, ahli hadits
dan ahli ilmu tauhid, adalah bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
diisra’kan dengan jasad dan ruhnya. Semua nash menunjukkan hal ini, dan
tidak boleh ditakwolkan dari arti zhahirnya, kecuali dengan dalil.
Ibnu Hajar di dalam Syarahnya terhadap Bukhari berkata, “Sesungguhnya
Isra’ dan Mi’raj terjadi pada satu malam, dalam keadaan sadar, dengan
jasad dan ruhnya. Pendapat inilah yang diikuti oleh Jumhur Ualama, ahli
hadits, ahli fiqih, dan ilmu kalam. Semua arti zhahir dari hadits-hadits
shahih menunjukkan pengertian tersebut, dan tidak boleh dipalingkan
kepada pengertian lain, karena tidak ada sesuatu yang mengusik akal
untuk menakwilkannya.”
Di antara dalil yang secara tegas menunjukkan bahwa Isra’ dan Mi’raj
dilakukan dengan jasad dan ruh, ialah sikap kaum Quraisy yang menentang
keras kebenaran peristiwa ini. Seandainya peristiwa ini hanya melalui
mimpi, kemudian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyatakannya
demikian kepada mereka, niscaya tidak akan mengundang keberanian dan
pengingkaran sedemikian rupa. Sebab penglhatan dalam mimpi itu tidak ada
batasnya. Bahkan mimpi seperti itu, pada waktu itu bisa saja dialami
oleh orang Muslim dan kafir. Seandainya peristiwa ini hanya dilakukan
dengan ruh saja, niscaya mereka tidak akan bertanya tentang gambaran
Baitul Maqdis untuk memastikan dan menentanngnya.
Mengenai bagaimana mukjizat ini berlangsung, dan bagaimana akal dapat
menggambarkannya, maka sesungguhnya mukjizat ini tidak jauh berbeda
dari mukjizat alam semesta dan kehidupan ini. Telah kamis ebutkan, bahwa
setiap fenomena-fenomena alamsemesta ini dengan mudah dapat digambarkan
dan diterima akal manusia, mengapa mukjizat ini tidak dapat diterima
pula dengan mudah?
Keenam, Ketika membahas kisah Isra’ dan Mi’raj ini,
hati-hatilah dan jauhkanlah diri Anda dari apa yang disebut dengan
“Mi’raj Ibnu Abbas”. Buku ini berisi kumpulan cerita palsu yang tidak
memiliki sandaran kebenaran sama sekali. Penulisnya telah berdusta besar
atas nama Ibnu Abbas. Setiap orang yang terpelajar dan berakal sehat
pasti mengetahui bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu bebsa dari segala
kedustaan yang ada di dalam buku tersebut.
http://www.fimadani.com/mukjizat-dan-ibrah-isra-dan-miraj/
Prof. DR. Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi