Jangan Terjerumus Ke Dalam Jebakan Politik
Kesalahan paling buruk, tapi sering dilakukan para analis politik
adalah “hanya bertumpu pada hal-hal yang tampak di depan mata, atau
madhahir-nya belaka, tanpa menyelami secara mendalam hakekat yang
disembunyikan. Faktor kesalahan lain yang sering mendominasi cara
berfikir politik seseorang adalah memisahkan analisanya dengan ideologi
serta kecenderungan politik sebuah negara. Sebagai contoh, ketika pecah
perang antara negara-negara Arab dengan Israel pada tahun 1948, 1967,
dan tahun-tahun setelahnya, banyak orang menyimpulkan bahwa negara Arab
telah bersatu hendak melenyapkan eksistensi Israel. Simpati dan
dukungan pun ditumpahkan kepada para penguasa-penguasa khianat itu.
Mengapa bisa begitu? Sebab, kebanyakan orang hanya bertumpu pada
madhahir-nya belaka, yakni bergeraknya pasukan negara Arab, hancurnya
alat-alat perang, serta jatuhnya korban dari kaum Muslim. Padahal,siapa
saja yang memperhatikan dengan seksama peristiwa itu akan mudah
menyimpulkan bahwasanya perang tahun 1948 dan 1967 hanyalah sandiwara
licik yang digelar para penguasa Arab, Israel, dan negara-negara barat
untuk mengokohkan eksistensi negara Yahudi di Palestina.Banyak wilayah
yang akhirnya diserahkan kepada Israel. Setelah itu, penguasa-penguasa
Arab diam seribu bahasa, dan menyalurkan kemarahan kaum Muslim pada
batas-batas kendali mereka. Kaum Muslim masih ingat, ketika pasukan
Israel membombardir pasukan Yordania,tapi perintah untuk menyerang tidak
pernah turun dari penguasa Yordania. Begitu pula, Mesir, Suriah, dan
negara-negara Arab lainnya. Mereka menjerumuskan pasukannya sendiri
pada lembah kehancuran. Begitu pula faksi-faksi bersenjata yang
dibentuk oleh penguasa-penguasa Arab untuk menutupi pengkhianatan mereka
pada tahun 1967, akhirnya mereka berangus sendiri. Ingatan kaum
Muslim masih lekat dengan peristiwa Black September, yang mana
faksi-faksi bersenjata yang dibentuk untuk memerangi Israel,
dikejar-kejar dan dibunuhi oleh tentaraYordania. Lantas, masihkah
orang beranggapan bahwa penguasa-penguasa itu benar-benar hendak
melenyapkan eksistensi Israel? Di negeri ini, ketika terjadi
konfrontasi dengan Malaysia pada masa Soekarno, banyak faksi-faksi
bersenjata di perbatasan yang dibentuk oleh pemerintah untuk memerangi
Malaysia. Tetapi, karena keputusan politik di Jakarta, perang itu
akhirnya dihentikan oleh pemerintah. Sementara itu, faksi-faksi
bentukan pemerintah yang terus berperang melawan pemerintah Malaysia,
akhirnya diperangi sendiri oleh TNI AD.
Sejarah terbentuknya negara-negara di Timur Tengah, mulai dari Saudi
Arabia, Yordania,Turki, Emirat, Kuwait, dan lain-lain, adalah sejarah
pengkhianatan dan persekongkolan. Negara-negara ini adalah bentukan
barat. Banyak orang lupa, bahkan dibuat lupa dan tidak tahu, bahwasanya
negara-negara brengsek itu dahulu kala tidak pernah ada dalam peta kaum
Muslim.Yang dikenal oleh umat Islam adalah jazirah Arab, jazirah Syam,
Maghrib, Haramain, dan lain sebagainya. Dahulu, wilayah jazirah Arab,
Syams, Iran, dan Iraq, Afrika, bersatu dalam kepemimpinan Islam tunggal,
Khilafah Islamiyyah. Namun, ketika nasionalisme dipropagandakan secara
massif di dunia Islam, maka lambat laun, perlahan-lahan tapi
pasti,musuh-musuh Islam berhasil menghancurkan kesatuan dan persatuan
umat Islam. Khilafah Islamiyyah yang awalnya mampu menaungi seluruh
kaum Muslim dan menyatukan mereka dalam bendera tauhid; berhasil
diruntuhkan melalui persekongkolan dan intrik paling busuk. Kekuasaan
Islam, yang di masa ‘Utsman bin ‘Affan ra, mencapai pegunungan Kaukasus
hingga Sovyet, dipecah belah menjadi negara-negara bangsa yang tegak di
atas pandangan ‘ashobiyyah dan sekulerisme. Sistem pemerintahan ajaran
orang kafir –demokrasi-sekuler–, dijadikan dasar dalam praktek-praktek
pemerintahan dan kenegaraan.
Dalam lintasan sejarah paling kelam, para penguasa negara-negara
bentukan barat itu memerankan dirinya sebagai penjaga setia kepentingan
barat di dunia Islam, bahkan kadang-kadang harus memerankan dirinya
sebagai algojo yang dengan penuh ketegaan membunuhi,memenjara, dan
menyiksa aktivis-aktivis yang anti barat dan pro Islam. Sikap mereka
terhadap Israel, dan terhadap setiap eskalasi yang merugikan kaum
Muslim, seperti invasi Amerika dan negara-negara barat ke Irak, dan
negara-negara Timur Tengah lainnya, juga menjadi dalil paling kuat atas
pengkhianatan mereka terhadap kaum Muslim. Lantas, bagaimana kita bisa
mempercayai setiap tindakan politik mereka serta opini yang mereka
hembuskan melalui media-media yang setali tiga uang dengan barat.
Realitas inilah yang mengharuskan para analis untuk membangun analisa
politiknya berdasarkan sudut pandang yang lurus, yakni fakta dan
tendensi politis sebenarnya, serta mizan sejati kita, ‘aqidah dan
syariah.
Menyingkap Sikap Iran Serta Relasinya Dengan Israel, AS, dan Negara Timur Tengah
Iran sejak masa Reza Pahlevi telah memerankan peran pentingnya dalam
menjaga kepentingan Amerika Serikat. Ketika Perdana Menteri Mossadegh
memiliki control kuat atas pemerintahan Iran, ia mengeluarkan kebijakan
nasionalisasi minyak Iran. Akibatnya, perusahaan-perusahaan minyak AS,
Perancis, dan Belanda, terpaksa harus hengkang dari Iran. Kebijakan ini
tentu saja mengusik kepentingan AS di Iran. Amerika Serikat, lalu
membujuk Reza Pahlevi, yang saat itu tinggal di Baghdad segera
mengeluarkan dekrit untuk membubarkan pemerintahan Mossadegh.
Akhirnya, pada tanggal 19 Agustus 1953, dekrit pembubaran diberitakan di
seluruh media massa, yang diikuti oleh rusuh massa di Iran. Kerusuhan
itu memaksa Mossadegh melepaskan jabatannya sebagai Perdana Menteri, dan
diganti oleh Jenderal Zahedi. Setelah dekrit itu, Reza Pahlevi kembali
ke Iran, dan mengucapkan ucapan terima kasih kepada AS dan Inggris.
Sebagai imbalan, ia mengijinkan AIOC untuk kembali mengelola minyak
Iran, bersama lima perusahaan minyak AS, 1 perusahaan minyak Perancis
dan Belanda, SHELL.
Selama kekuasaan Reza Pavlevi, AS tetap ikut campur terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah Iran. Salah satunya adalah kebijakan
membentuk SAVAK, yaitu satuan polisi rahasia yang secara efektif
membunuhi ribuan rakyat Iran yang anti pemerintahan Pahlevi. SAVAK
sendiri berdiri atas dukungan dan rancangan CIA. Amnesty Internasional
mencatat bahwa Iran memiliki tahanan politik berjumlah 2.200 pada tahun
1978. Hanya saja, ketika Reza Pahlevi sudah mulai membuat ulah yang
mengganggu kepentingan AS dan Israel, maka AS dan Israel segera
bertindak. AS harus segera melengserkan Pahlevi, dan mencari pengganti
Pahlevi, yang dicintai rakyat Iran, tetapi bisa tetap menjaga
kepentingan AS di Iran dan Timur Tengah. Operasi menjatuhkan Pahlevi
pun digelar.
Jadi kita jangan terkecoh, atau membuat silogisme sederhana; bahwa
orang yangmenjungkalkan Pahlevi secara otomatis adalah musuh Amerika,
atau tidak mungkin dibantu AS; hanya dengan bersandar pada alasan:
Pahlevi adalah pro AS, dan AS menjatuhkan Pahlevi. ASd an Barat
adalah negara-negara bajingan dan brengsek yang tidak akan berfikir
seribu kali untuk menjungkalkan “penguasa antek-anteknya”. Berikut ini
adalah fakta-fakta yang tidak mungkinbisa dibantah:
Pada saat Khomeini berada di Perancis, yakni di Neauphle-le-Chateau;
ia sering dikunjungi delegasi gedung putih dan terjadi kerjasama dengan
Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Desember tahun 2000, fakta itu
terungkap lewat mulut Presiden Iran Abu al-Hasan Banu Shadr
(1980-1981). Ia mengatakan bahwa delegasi gedung putih datang ke
Neauphle-le-Chateau, tempat Khomeini tinggal, dan ditemui oleh Yazdi,
Bazarkan,Musavi, dan Erdibily. Pertemua kedua belah pihak tidak hanya
terjadi sekali. Dari beberapa pertemuan tersebut ada sebuah pertemuan
penting dan terkenal, yaitu pertemuan di daerah Suburbant, Perancis. Di
dalam pertemuan itu disepakati perjanjian-perjanjian antara kelompok
Reagen dan Bush dengan kelompok Khomeini. Khomeini menyatakan siap
bekerjasama dengan AS, asalkan AS tidak mencampuri urusan dalam negeri
Iran. Setelah itu, pada tanggal 1 Pebruari 1979, Khomeini pulang ke
Iran. AS pun menekan Shahpour Bakhtiyar untuk menyerahkan
kekuasaannya, dan mengancam panglima militer Iran jika menghalangi jalan
Khomeini.
Bukti persekongkolan licik nan jahat antara Khomeini dan AS juga
terwajahkan pada konstitusi Iran, yang menjadikan Iran sebagaimana
negeri Republik Iran yangmenerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Adapun
pasal yang menyatakan “Agama resmi Iran adalah Islam dan Madzhab
Ja’fariy Itsna ‘Asyar”, maka hal itu hanya pampangan kosong yang
menipu. Seperti konstitusi di beberapa negeri Islam lain, yang
mencantumkan asas Islam, tetapi pada prakteknya tidak sama sekali.
Begitu pula pencantuman madzhab Syi’ah dalam konstitusi negara;
faktanya, bentuk negara dan sistem pemerintahan, dan mekanisme
pemerintahan tidaklah merujuk pada madzhab ini, tetapi tetap merujuk
pada demokrasi-kapitalisme. Sama seperti negara Saudi Arabia, yang
mencantumkan madzhab Hanbali. Namun faktanya, mereka tidak menjadikan
negara Saudi tegak di atas ajaran-ajaran madzhab Hanbali. Pencantuman
madzhab seperti ini dalam konstitusi negara, baik di Saudi, Iran, dan
negeri lain, lebih ditujukan agar penguasa boneka itu mendapat dukungan
dari kelompok tertentu didalam negeri. Pada akhir tahun 1989,
masyarakat Azerbaijan berusaha memisahkan diri dari kungkungan Rusia,
dan hendak menyatukan diri dengan Iran. Mereka menghancurkan perbatasan
dengan Iran demi bersatu dengan Iran. Pada awal tahun 1990, Rusia
membantai penduduk Azerbaijan, dan menghalangi maksud mereka yang ingin
bersatu dengan Iran. Lalu, apa yang dilakukan Iran. Ternyata Iran diam
seribu bahasa, dan sama sekali tidak mengulurkan tangannya untuk
membantu orang-orangAzerbaijan. Padahal, mayoritas penduduk Azerbaijan
adalah Muslim dan pengikut madzhab pemerintahan Iran. Iran juga tidak
membantu Azerbaijan pada saat Armenia–yang disokong oleh Rusia–
mencaplok 20% wilayah Azerbaijan dan membantai penduduknya; serta
mengusir bangsa Azer dari wilayahnya, pada tahun 1994. Apa yang
dilakukan Iran? Ternyata, Iran lebih suka mengembangkan hubungan dengan
Armenia dibandingkan dengan Azerbaijan. Bahkan, Iran mendukung
kelompok yang tidak ada kaitannya dengan Islam, seperti kelompok Michael
Aon dan gerakan sekuler seperti gerakan Nabih Berry, dan
gerakan-gerakan lain di Lebanon yang berada dalam kendali AS.
Di Lebanon, Iran mendirikan partai dari madzhab Syiah dan
mempersenjatai mereka. Partai bersenjata ini akhirnya menjadi “pasukan
non pemerintah” yang terpisah dengan militer Lebanon. Anehnya,
pemerintah Lebanon pun mengakui eksistensi mereka, dan persenjataan
mereka. Namun, pemerintah tidak mentolerir partai-partai lain memiliki
persenjataan. Tahukah Anda? Pemerintah Lebanon adalah rejim sekuler
yang mengikuti garis kebijakan Amerika Serikat. Perlu diketahui juga,
partai yang didirikan Iran di Lebanon memberikan dukungan kepada rejim
Suriah, Bashar Asad. Bahkan, partai ini melakukan intervensi ke Suriah
untuk memberikan dukungan yang memadai bagi militer Bashar Asad melawan
mujahidin Suriah. Apa yang dilakukan pemerintah Lebanon? Ternyata,
pemerintah Lebanon yang berada di bawah control Amerika Serikat itu
tidak melarang intervensi partai Iran di Lebanon ini? Mestinya, jika AS
benar-benar memusuhi Bashar Asad, ia bisa saja memerintahkan penguasa
Lebanon menghalangi dan melarang intervensi partai Iran tersebut ke
Suriah.
Pada saat AS menduduki Irak, AS mendapat perlawanan mati-matian dari
kaum Muslim Irak. Bahkan, AS berada dalam jurang kehancuran akibat
perlawanan sengit para mujahidin Irak. Iran pun masuk ke Irak untuk
membantu AS; dengan cara,mempengaruhi orang-orang yang berafiliasi pada
madzhab Iran (Syiah) untuk menghentikan perlawanan terhadap pendudukan
AS, serta memberikan sokongan kepada rejim bentukan AS di Irak. Ini
terjadi pada tahun 2005. Pada saat itu, Amerika Serikat memberikan
mandat kepada partai yang pro kepada Iran untuk menduduki tampuk
kekuasaan di Irak, dengan pimpinan Ibrahim al-Ja’fariy, lalu berikutnya
al-Malikiy. Pemerintahan ini didukung oleh AS dan terikat penuh dengan
AS. Pemerintahan Maliki yang didukung Iran menandatangani perjanjian
keamanan dan perjanjian strategis lain dengan Amerika Serikat untuk
menjaga control AS di Irak, pasca berakhirnya pendudukan di Irak.
Pejabat-pejabat pemerintahan Iran mengakui adanya kerjasama antara Iran
dengan AS untuk menjaga stabilitas dan pengaruh AS di Irak. Ketika
Ja’fariy terpilih, menteri luar negeri Iran waktu itu, Kamal Kharazi
langsung mengunjungi Baghdad pada tahun 2005; pada saat puncak
pendudukan terjadi di Irak. Keduanya (Ja’fariy dan Kamal Kharaziy)
mengecam perlawanan terhadap pendudukan AS dengan mengatasnamakan
“mengecam kelompok teroris “. Al-Ja’fariy juga berkunjung ke Iran
untuk menandatangani sejumlah perjanjian strategis seperti perjanjian
untuk mengokohkan stabilitas keamanan, memonitor lalu lintas perbatasan,
mengaitkan sambungan listrik antara Bashrah dengan Iran, membangun
jalur pipa antara Bashrah dan Abdan, dan lain-lain. Presiden
Ahmadinejad, pada awal tahun 2008 mengunjungi Irak. Ahmadinejad yang
dalam statementnya selalu menyerang dan anti Amerika dan Yahudi,
ternyata hanya berhenti pada batas statement belaka, tanpa diiringi
tindakan nyata. Bahkan fakta menunjukkan persekongkolan
dirinya dengan AS. Dua minggu sebelum meninggalkan tampuk kekuasaan,
Ahmadinejad mengunjungi Irak dan memberikan dukungan pada rejim Maliki
yang tunduk pada AS dan setia menjaga pengaruh AS di Irak. Ahmadinejad
juga melakukan kunjungan ke Afghanistan tahun 2010. Saat itu
Afghanistan masih dalam pendudukan AS dan Ahmadinejad memberikan
dukungan kepada rejim Hamid Karzai jongosnya AS.
Iran juga melakukan hal yang sama di Yaman. Iran mendukung kelompok
Houthi dan mempersenjatai mereka untuk menentang rejim Saleh, antek
Inggris. Iran juga mendukung para aktivis gerakan sekuler Yaman yang
menyerukan pemisahan, padahal aktivis-aktivitas itu adalah
antek-anteknya AS, yang ingin membentuk sistem sekuler yang loyal
terhadap AS.
Iran juga memberikan bantuan kepada AS saat pendudukannya di
Afghanistan. Iran juga menyokong konstitusi yang ditetapkan Amerika.
Iran juga mendukung pemerintahan Karzai yang dibentuk oleh AS. Iran
juga menjamin Afghanistan Utara, ketika AS gagal mengalahkan Taliban.
Mantan presiden Iran, Ali Rafsanjani berkata, “Seandainya kekuatan kami
tidak membantu dalam memerangi Taliban, niscaya orang-orang Amerika akan
terjatuh dalam lumpur Afghanistan”.(Al-Sharq al-Awsath, 9/2/2002).
MohammadAli Abtahi, wakil mantan presiden Iran, Khatami untuk urusan
perundang-undangan dan parlemen, dalam Konferensi Teluk dan Tantangan
Masa Depan, yang diselenggarakan di Emirat Abu Dhabi, 13/1/2004 berkata,
“Seandainya tidak ada kerjasama Iran, niscaya Kabul dan Baghdad tidak
akan jatuh dengan begitu mudah. Tetapi, sebagai balasannya, kami
dimasukkan dalam poros kejahatan”. (Islam On Line, 13/1/2004). Presiden
Ahmadinejad juga mengulang-ulang pernyataan itu dalam kunjungannya ke
New York, untuk menghadiri Sidang Umum PBB. Dalam pertemuannya dengan
surat kabar NewYork Times, 26/9/2008, ia menyatakan, “Iran memberikan
tangan bantuan kepada Amerika Serikat dalam hal yang berkaitan dengan
Afghanistan. Dan hasil dari bantuan-bantuan itu, presiden Amerika
mengarahkan ancaman-ancaman langsung untuk melancarkan serangan militer
terhadap kami. Sebagaimana negeri kami juga memberikan bantuan kepada
Amerika dalam mengembalikan ketenangan dan stabilitas ke Irak”.
Terhadap program nuklir Iran, AS berkali-kali menghalangi negara
Israel –atas dorongan dan dukungan negara Eropa–, untuk mengancurkan
program nuklir Iran. Hingga sekarang pun, AS tetap menghalangi entitas
Yahudi menghancurkan program nuklir Iran. Amerika memberi ijin kepada
Israel untuk menyerang instalasi nuklir Irak yang hampir terbangun pada
masa Shaddam Husein pada tahun 1981. Tetapi, AS melarang Israel
menyerang instalasi nuklir Iran yang sudah memurnikan Uranium hingga
kadar 20%. Ini menunjukkan bahwa AS berusaha menjaga eksistensi
pemerintahan Iran untuk kepentingan AS di kawasan Timur Tengah; yaitu
agar negara-negara Timur Tengah khawatir dan takut kepada Iran, yang
dengan begitu eksistensi dan kelangsungan militer AS di kawasan terus
terjaga. Pembicaraan program nuklir Iran sudah berlangsung sejak tahun
2003. Hanya saja, AS hanya memfokuskan diri pada sanksi, bukan pada
pengurangan atau pelucutan hulu ledak. Hanya saja, AS tidak pernah
serius memberikan sanksi kepada Iran, atau berusaha menyelesaikan
masalah program nuklir Iran dengan tuntas. AS berusaha menakut-nakuti
negara-negara Timur Tengah dengan eksistensi nuklir Iran, untuk
menciptakan ketergantungan negara-negara Timur Tengah terhadap pengaruh
dan kekuatan militer AS.
Fakta-fakta di atas setidaknya memberi kesadaran kepada kita,
bahwasanya garis kebijakan Iran, tetap sejalan dengan garis kebijakan AS
pada batas-batas tertentu. Untuk menutupi kebusukan-kebusukan ini
semua, Iran terus mendengang-dengungkan retorika menyebalkan “anti
Amerika dan Israel”, yang tidak pernah terbukti pada tindakan nyata.
Seperti orang yang berteriak lantang dengan suara tinggi “jalan ke
kiri”, tetapi, ia berjalan ke arah sebaliknya.
Wallahu A’lam Bish Shawab
(Fathiy Syamsuddin / Ramadhan An Nawiy)
syamsuddinramadlan@gmail.com