Amran Nasution
Wakil Gubernur Jakarta Ahok semula coba memusuhi FPI. Tapi belakangan ia melunak. Mengapa?
Di mata anggota DPR dari Fraksi PDIP seperti Eva Kusuma Sundari
organisasi massa Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) tak ada
baiknya. Semuanya miring. Bagi Eva yang terlihat hanya sisi negatif
ketika anggota FPI menyerbu rumah pelacuran, merazia minuman keras di
warung desa, atau menggerebek perjudian liar.
Eva tak mau tahu bagaimana penduduk resah karena para pelajar dan pemuda
desa menjadi korban minuman keras yang beredar bebas. Atau menjadi
pelanggan rumah pelacuran dan perjudian liar. Belakangan peredaran
Narkoba menambah parah generasi muda kita. Sementara itu aparat keamanan
seakan tak berdaya.
Padahal untuk diketahui saja, di negara yang bukan berdasarkan Pancasila
(yang tak mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama)
seperti di Eropa atau Amerika Serikat, pelacuran, perjudian, atau
peredaran Narkoba tak sebebas di sini.
Menjual minuman keras, misalnya, kepada anak di bawah umur di Amerika
Serikat adalah kejahatan. Karena itu organisasi-organisasi semacam FPI
tumbuh secara lokal di Amerika Serikat, di negara bagian tertentu.
Tapi bagi Eva, organisasi semacam FPI tak ada bagusnya dan harus
dihabisi. Eva tak mempersoalkan Ormas lain, misalnya Ormas yang
menyerang buruh yang berdemo menuntut haknya baru-baru ini. Itu tak ada
masalah bagi Eva. Oleh karena itulah Eva hanya menyayangkan sikap
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang mengimbau para kepala daerah
agar bekerja sama dengan Front Pembela Islam (FPI) guna menjalankan
program-programnya. Menurut Eva, imbauan itu disorientasi.
Kata Eva, badan hukum FPI tak jelas. Kemudian citra yang melekat pada
FPI adalah ormas yang sering melanggar hukum. Seharusnya, kata Eva,
Mendagri tak perlu memberi legitimasi pada posisi FPI itu.
"Mendagri disorientasi, membahayakan penegakan hukum di daerah dan
pelaksanaan prinsip konstitusionalisme," kata Eva kepada wartawan 25
Oktober lalu.
Politisi PDI Perjuangan ini tak habis pikir mengapa Mendagri tiba-tiba
mengeluarkan pernyataan yang menurut dia tak masuk akal. Ia menuduh
pernyataan itu merupakan bentuk ketakutan Gamawan (yang bekas Gubernur
Sumatera Barat itu) pada FPI yang sempat mengancam akan merusak kantor
Kemendagri beberapa waktu lalu.
"Supaya tak tanggung-tanggung, sekalian saja saya sarankan Pemda kerja
sama dengan geng motor. Toh sama-sama berwatak premanisme," kata wanita
berkulit hitam dengan tubuh tambun itu. Sangat jelas pernyataan Eva asal
jeplak dan tak berdasar.
Pernyataan anggota DPR dari PDIP ini tampak penuh kebencian kepada FPI
sekalian melakukan penyederhanaan masaalah. Dalam soal kekerasan,
misalnya, Eva Kusuma Sundari lupa bagaimana di awal reformasi 1998 massa
PDIP justru melakukan kekerasan di berbagai daerah.
Korbannya terutama adalah para aktivis Golkar. Bahkan ada kantor Golkar
daerah yang sempat jadi koban pembakaran alias vandalisme. Di Jakarta,
artis Renny Jayusman sempat merasakan kemarahan massa berbaju merah itu.
Baju kuning Golkar Renny Jayusman sempat dilucuti massa ketika ia
sedang mengikuti sebuah acara di Jakarta.
Bahkan Ketua Umum Golkar ketika itu dan Ketua DPR Akbar Tanjung sendiri
punya pengalaman pahit dengan massa partai Eva Kusuma Sundari itu.
Ketika menghadiri sebuah acara partainya di Jawa Tengah, mobil Akbar
dikepung massa berbaju merah. Supirnya yang tangkas berhasil meloloskan
mobil dari kepungan massa. Tapi tak urung mobil itu peyot di sana-sini
kena timpukan batu. Kaca mobil pun pecah. Jelas perlakuan kepada Akbar
Tanjung yang ketika itu Ketua Umum DPP Golkar dan Ketua DPRRI adalah
tindak anarkis.
Tapi tentu saja Eva Kusuma Sundari keberatan kalau PDIP dijuluki partai
anarkis, dan Eva Kusuma Sundari sebagai pendukung partai itu keberatan
digolongkan sebagai penganut anarkisme. Eva hanya melihat anarkisme ada
di FPI karena dia tak suka Ormas itu. Orang seperti Eva Kusuma Sundari
ini banyak ditemukan sekarang. Dia menyangka orang semua bodoh sehingga
bisa terima pernyataan-pernyataan seenaknya sendiri.
Mestinya orang seperti Kusuma Sundari yang pernah belajar hukum mengerti
kalau Indonesia negara hukum. Kalau massa FPI atau siapa saja melakukan
tindakan di luar hukum mereka akan berhadapan dengan pengadilan. Klir.
Toh selama ini sejumlah oknum FPI sudah pernah dituntut di pengadilan
karena melakukan tindak kekerasan. Tapi orang seperti Kusuma Sundari ini
mana mau tahu. Dia picingkan mata pada fakta-fakta yang ada. Yang
penting, ia tak suka FPI (tampaknya karena alasan ideologis) maka FPI
harus dilenyapkan.
FPI YANG MENOLONG KORBAN TSUNAMI
Tentu saja orang seperti Kusuma Sundari tak bisa memaksakan kemauannya
kepada pemerintah atau kepada Departemen Dalam Negeri. Sebelumnya,
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi telah mengimbau para kepala daerah
untuk menjalin kerja sama dengan FPI. Dalam pembangunan daerah, kata
Gamawan, kepala daerah seharusnya tak alergi dengan organisasi
kemasyarakatan (ormas). Menurutnya, Ormas termasuk FPI merupakan aset
bangsa dan kerja sama Pemda dengan FPI bisa dilakukan untuk
program-program yang baik.
"Kalau perlu dengan FPI juga kerja sama untuk hal-hal tertentu. Iya kan?
Kerja sama untuk hal-hal yang baik," ujar Gamawan dalam sambutannya
pada pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengelolaan Kawasan Perkotaam
Tahun 2013, di Hotel Red Top, Jakarta Pusat, Kamis, 24 Oktober lalu.
Belakangan Gamawan lebih memperjelas pernyataannya dengan mengatakan
kerja sama Pemda dengan FPI yang ia maksudkan di bidang keagamaan.
Seharusnya, lanjut dia, kepala daerah bekerja sama dengan ormas
berdasarkan sifat kekhususannya. Menurutnya, kerja sama dapat dilakukan
dengan melibatkan ormas yang bersangkutan dalam program yang terkait
dengan bidang kerja ormas. Namun, kata Gamawan, akibat ada dua atau tiga
ormas yang berkinerja tak baik, akhirnya citra ormas yang baik ikut
rusak. Apalagi orang seperti Eva Kusuma Sundari ingin citra Ormas
semacam FPI harus rusak.
Ia lupa ketika terjadi tsunami Aceh di tahun 2005, ketika Provinsi
paling barat Indonesia itu porak-poranda dilanda gelombang laut yang
naik ke darat. Di mana-mana mayat bergelimpangan di antara gedung-gedung
dan bangunan yang berantakan.
Ketika itu ternyata bukan partai politik (termasuk partainya Eva Kusuma
Sundari) yang bekerja menolong rakyat yang lagi menderita luar biasa.
Yang datang ke sana adalah para aktivis FPI. Mereka bahu-membahu dengan
rakyat setempat, polisi, dan anggota TNI, memberikan pertolongan kepada
para korban. Mereka menggotong dan menguburkan mayat-mayat yang sudah
membusuk. Coba tanya: di mana Eva Kusuma Sundari dan kawan-kawannya
ketika itu?
Yang penting bagi Eva Kusuma Sundari, imbauan Menteri Dalam Negeri,
Gamawan Fauzi agar pemerintah daerah bekerja sama dengan Front Pembela
Islam (FPI) adalah salah dan itu dinilainya membingungkan.
Wakil Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok termasuk orang
yang berpandangan serupa dengan Kusuma Sundari. Ahok bahkan menganggap
pernyataan Mendagri bertentangan dengan kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan sebelumnya. "Dulu presiden minta bubarkan FPI, kata Pak
Gamawan tak bisa karena FPI tak pernah punya izin. Itu bukan ormas. Eh
tiba-tiba sekarang Gamawan suruh kita kerjasama dengan ormas, salah
satunya FPI," kata Ahok di Balaikota Jakarta, Jumat, 25 Oktober lalu.
Basuki mengungkapkan, Kementerian Dalam Negeri sebelumnya telah
mengeluarkan edaran agar pemerintah daerah menjalin kerja sama dengan
ormas resmi. Namun imbauan itu mengakibatkan keadaan makin tak jelas
atas aturan sebelumnya. Ahok mengatakan, jika imbauan kerja sama dengan
FPI diresmikan secara sengaja berarti Gamawan membangkang pada perintah
presiden yang ingin membubarkan ormas besutan Habib Rizieq Sihab itu.
"Kan kami mesti bekerja sama dengan ormas yang resmi. Surat Edaran
Mendagri dengan jelas mengatakan kerjasama dengan ormas yang resmi. Saya
gak ngerti sekarang apakah sudah ada surat izin untuk FPI. Kalau ada,
berarti yang mengeluarkan surat itu tak ikut perintah Pak SBY yang tadi
dong," kata Ahok.
Ahok juga menegaskan sikap Pemerintah DKI Jakarta yang tak akan menjalin
kerja sama dengan ormas anarkis. Bahkan, ia berani melawan jika ada
ormas di Jakarta yang berkeliaran dan melalukan tindakan
sewenang-wenang. "Prinsip kami siapa pun yang anarkis kami lawan, enggak
ada yang anarkis di DKI. Kami taat pada konstitusi bukan pada
konstituen," ujar mantan anggota Komisi II DPR RI itu.
Sikap Wakil Gubernur Ahok (seorang Kristen) terhadap Ormas Islam FPI itu
ternyata tak sejalan dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias
Jokowi. Jokowi tak pernah membenci Ormas mana pun – termasuk FPI.
Jokowi menolak berpolemik lebih jauh soal saran Menteri Dalam Negeri
Gamawan Fauzi kepada kepala daerah untuk bekerja sama dengan Front
Pembela Islam (FPI). Tapi dalam setiap kesempatan, Jokowi selalu
menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta siap bekerja sama
dengan semua organisasi kemasyarakatan.
Jawaban itu selalu ia sampaikan ketika wartawan mencoba menggali lebih jauh tentang keinginan Jokowi bekerja sama dengan FPI.
Ketika wartawan menanyakan apakah Pemprov DKI akan mempertimbangkan
latar belakang sebuah ormas yang akan diajak bekerja sama, Jokowi
kembali menekankan bahwa kerja sama itu akan dilakukan dengan semua
ormas.
"Sudah saya katakan, kami kerja sama dengan semua ormas," ujar Jokowi di
Balaikota Jakarta, Senin (28/10/2013). Jokowi mengatakan, ia sudah
menjalin kerja sama dengan ormas keagamaan. Hal itu dilakukan untuk
menunjukkan hubungan yang baik antara pemerintah dan ormas. "Saya ke
Muhammadiyah, minta dibantu sosialisasikan program-program Pemda. Ke NU
juga agar program kami sampai ke bawah," kata Jokowi.
Namun, saat ditanya tentang hubungan antara Pemprov DKI dan FPI, Jokowi
kembali memberikan jawaban seperti sebelumnya. "Kami bekerja sama dengan
semua ormas," ujarnya. Artinya, termasuk FPI.
Sikap Gubernur Jokowi itu sudah jelas. Yang repot sekarang tentulah
Ahok, sang Wakil Gubernur. Apalagi sikap Sang Wagub menyerang FPI tentu
saja menyebabkan Ormas yang memiliki para anggota militan itu
bersiap-siap pula untuk menghadapi Ahok.
Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Front Pembela Islam (FPI) DKI
Jakarta, Habib Novel Bamu'min, misalnya, menyatakan protes terhadap
sikap Wakil Gubernur DKI Jakarta itu, terutama karena komentar Ahok
menanggapi pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Novel menilai Basuki sangat keberatan dengan imbauan Gamawan Fauzi agar
setiap kepala daerah bekerja sama dengan ormas, tak terkecuali FPI.
"Keterangan Mendagri inilah yang membuat Ahok gerah. Akhirnya,
berkomentar keras dan menyudutkan FPI," kata Habib Novel kepada wartawan
26 Oktober lalu.
Oleh karena itu jika Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama tak mengubah
sikapnya, FPI akan menuntut Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut untuk
turun dari jabatannya. "Kalau Ahok tak bisa mengubah sikap, kami minta
ke DPRD untuk menggelar rapat atau apa punlah supaya Ahok bisa turun,"
ujar Novel.
Lebih lanjut Novel mengatakan, dalam waktu dekat pihaknya akan turun
melakukan demonstrasi di Balaikota DKI Jakarta. Segala sesuatu tentang
hal itu sedang direncanakan. Opsi lainnya, FPI akan mengirimkan delegasi
untuk menemui Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wakil Gubernur
Basuki sendiri.
"Mungkin lewat delegasi, kalau kami tak bisa turun. Kami akan minta
langsung diagendakan untuk bertemu tokoh-tokoh Islam dan berikan masukan
untuk Ahok. Agar Ahok dapat berkordinasi dan berkerja sama dengan ormas
Islam dan ulama," ujar Novel.
Tapi belakangan tampaknya sikap Wagub Ahok mulai bergeser. Dia mulai
akomodatif terhadap Imbauan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi agar
kepala daerah menjalin kerja sama dengan ormas, termasuk dengan Front
Pembela Islam (FPI). Kepada para wartawan yang menanyakan perubahan
sikapnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi DKI tak punya masalah dengan FPI.
“Kami baik-baik saja sama FPI. Selama ini kan FPI membantu kami supaya
tak ada lagi PSK (Pekerja Seks Komersial). Mereka bantu tugas Satpol
PP,” kata Ahok di Balaikota DKI Jakarta, 24 Oktober 2013.
Masalah lain yang membuat Front Pembela Islam (FPI) harus berhadapan
dengan Pemda DKI Jakarta adalah Lurah Lenteng Agung Susan Jasmine
Zulkifli. Lenteng Agung jelas kelurahan dengan mayoritas penduduk
beragama Islam. Sedangkan Lurah Susan yang diangkat Jokowi-Ahok itu
beragama Kristen. Akibatnya masyarakat Lenteng Agung terus-terusan
melakukan demonstrasi. Menurut FPI, misalnya, keberatan masyarakat
terhadap Lurah wanita yang beragama Kristen itu karena mayoritas
penduduk beragama Islam sehingga tak mungkin Susan mewakili aspirasi
warga dalam kegiatan keagamaan.
"FPI sangat menolak. Harga mati bagi FPI Jakarta Selatan untuk menolak
keras Lurah Susan," kata Habib Novel Bamu'minin kepada wartawan.
Menurut Novel selama ini, kepemimpinan di sana belum pernah dipegang
Lurah beragama non-muslim.
Habib Novel menyangsikan kepemimpinan Susan dapat mewakili warga yang
mayoritas Muslim. "Sangat tak mungkin Lurah Susan dapat mewakili
aspirasi warganya. Wanita sudah punya keterbatasan, apalagi non-Muslim.
Kami mau yang jadi Lurah di situ bisa turun langsung ke lapangan, ke
masjid, karena di situ ada aktivitas pengajian," ujar Novel.
Untuk itu, FPI berencana melakukan Tabliq di Masjid Al-Kautsar Lenteng
Agung, dengan tema '’Dampak Negatif Pemimpin Non-Islam Di tengah
Mayoritas Islam'’. Habib Novel mengatakan dia akan hadir dalam acara itu
Selain itu, tabligh juga direncanakan untuk mengajak warga melakukan
demo di Balaikota DKI Jakarta, beberapa waktu yang akan datang. "Kami
akan menyikapi arogansi Wagub Ahok. Tapi bagaimana nantinya keputusan
kami tentu saja bisa berubah," kata Novel. Apalagi belakangan ada kabar
bahwa Pemda DKI segera akan memindahkan Lurah Susan dari Lenteng Agung.
Selain itu, kabarnya Ahok pun mendapat peringatan dari pemimpin
partainya, Gerindra.[