dapatakan aplikasi android update berita PKS
Downlod Now
Rabbi Yahudi Arthur Schneier Pendiri ACF & Pemberi Penghargaan SBY
VOA-ISLAM.COM -
Appeal of Conscience Foundation (ACF) adalah organisasi yang didirikan
oleh seorang Rabbi Yahudi Arthur Schneier sejak tahun 1965 silam.
ACF
disebut bekerja untuk memperjuangkan kebebasan beragama dan hak asasi
manusia di seluruh dunia. Bahkan setelah tragedi kemanusiaan 11
September 2001, yayasan ini ikut mengajak berbagai pemimpin dunia untuk
ikut bersama-sama mengambil sikap memerangi terorisme.
Sementara
Schneier lahir pada 20 Maret 1930 di Wina , Austria. Ia merupakan Rabbi
senior dari sinagog Park East, di New York sejak tahun 1962. Ia pernah
hidup di bawah pendudukan Nazi di Budapest selama Perang Dunia II dan
tiba di Amerika Serikat pada tahun 1947. Ia menikah dengan Elisabeth
Nordmann Schneier.
Rabbi
Schneier dikenal memiliki peran perintis dalam memperjuangkan Yahudi di
Soviet dan membangun kembali kehidupan keagamaan Yahudi di Rusia,
Ukraina dan Eropa Timur. Ia juga berhasil menegosiasikan kembalinya
Sinagog Moskow ke komunitas Yahudi.
Aktivitasnya
sebagai seorang Zionis Yahudi terlihat dari sejumlah penghargaan dan
pengakuan yang disematkan pada Schneier, diantaranya Conference of
Presidents of Major Jewish Organizations, Religious Zionists of America,
World Jewish Congress American Section dan lain-lain.
Schneier
juga disebut sebagai salah satu korban Holocaust yang berhasil selamat.
Ia telah mengabdikan hidupnya untuk mengatasi kebencian dan sikap
intoleran terhadap umat beragama. Organisasi yang didirikannya tersebut
rutin memberikan penghargaan Statesman Award (penghargaan negarawan) kepada para pemimpin dunia sejak tahun 1997.
Beragam
tokoh penting dunia tercatat pernah menerima penghargaan ini. Mulai dari
mantan Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown, mantan Presiden Perancis,
Nicolas Sarkozy dan Kanselir Jerman, Angela Merkel termasuk mantan
menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger, terakhir penerima penghargaan
tersebut adalah pemimpin negara muslim terbesar di dunia, Presiden RI,
Susilo Bambang Yudhoyono.
Dari hal tersebut saya jadi teringat akan pandangan Ust. Abu Bakar Ba'asyr dan Kelompoknya
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
MENGKAFIRKAN PENGUASA MUSLIM ADALAH AKAR KESESATAN TERORIS KHAWARIJ
(Sebuah Catatan Atas Tertangkapnya Abu Bakar Ba’asyir, Bag. 3)
Telah kita singgung pada catatan sebelumnya yang berjudul
PERANG TERHADAP TERORIS KHAWARIJ BUKAN PERANG TERHADAP ISLAM, bahwa diantara ciri-ciri Khawarij yang ada pada diri
Abu Bakar Ba’asyir (ABB) dan kelompoknya adalah mengkafirkan sesama muslim, khususnya penguasa muslim yang tidak berhukum dengan syari’ah Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu benar-benar dibuktikan oleh
ABB dengan mengkafirkan
Presiden SBY –
hafizhahullah-, dengan alasan bahwa
Presiden SBY, “Tidak menjalankan syari’at Islam dengan benar”, demikian katanya.
Paham pengkafiran (
takfir)
ala Khawarij ini muncul dari kebodohan mereka dalam memahami makna
kekafiran (الكفر) dan kaidah-kaidah dalam pengkafiran (القواعد في
التكفير) yang ada dalam manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Oleh karenanya
catatan ringkas ini insya Allah Ta’ala akan menjelaskan bagaimana manhaj
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, manhaj generasi
As-Salafus Shalih dalam
masalah kekafiran, khususnya kekafiran pemerintah yang tidak berhukum
dengan syari’ah Islam dan bagaimana kaidah-kaidah dalam mengkafirkan
seorang muslim yang melakukan kekafiran.
Makna Kekafiran dan Pembagiannya
Kekafiran
(الكفر) secara bahasa maknanya adalah (الستر) dan (التغطية), yang
berarti menutup. Sedangkan menurut syari’ah, kekafiran adalah lawan dari
keimanan (ضد الإيمان). Dan terbagi dalam lima jenis, yaitu:
- Mendustakan (كفرالتكذيب)
- Menentang (كفر الإباء والاستكبار)
- Ragu (كفر الشك)
- Berpaling (كفر الإعراض)
- Kemunafikan (كفر النفاق).
[Lihat
Madarijus Salikin, karya
Al-Imam Ibnul Qoyyim, (1/335-338)].
Adapun tingkatan kekafiran terbagi dua:
- Kekafiran besar (الكفر الأكبر), yang menyebabkan murtad (keluar dari Islam dan menjadi kafir)
- Kekafiran kecil (الكفر الأصغر), yang tidak menyebabkan murtad.
[Lihat
Majmu’ At-Tauhid, oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, (hal. 6), sebagaimana dalam
Aqidatul Muslim, karya
Asy-Syaikh DR. Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qohthoni, (1-2/621-626)].
Tidak Berhukum dengan Hukum Islam, Apakah Termasuk Kekafiran Besar ataukah Kekafiran Kecil?
Pendapat pertama: Termasuk
kekafiran besar yang menyebabkan murtad, ini pendapat ahlul bid’ah dari
kalangan Khawarij dan selain mereka yang beragama atas dasar semangat
belaka, bukan dengan ilmu.
Pendapat kedua: Termasuk kekafiran kecil yang tidak menyebabkan murtad, kecuali jika pelakunya melakukan salah satu dari tiga hal:
- Menghalalkan hukum yang bertentangan dengan Islam
- Menganggap ada hukum yang sama baiknya dengan hukum Islam
- Menganggap ada hukum yang lebih baik dari hukum Islam.
Apabila
seorang penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Islam, melakukan satu
dari tiga hal tersebut barulah dia terjatuh pada kekafiran besar yang
menyebabkan dia murtad, kafir, keluar dari Islam. Inilah pendapat Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, yaitu pendapat para sahabat, imam madzhab yang empat
dan seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sampai hari kiamat [lihat
Al-Qoulul Mufid, oleh
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, (2/159-160)].
Adapun
akar
kesalahan kelompok Khawarij dalam memahami permasalahan ini dikarenakan
penyimpangan mereka dalam metode memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana ciri ahlul bid’ah lainnya, yaitu tidak mau mengikuti pemahaman
As-Salafus Shalih terhadap nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga mereka salah memahami firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” [Al-Maidah: 44]
Kaum
Khawarij memahami ayat ini bahwa kekafiran yang dimaksudkan dalam ayat
tersebut adalah kekafiran besar, sehingga siapa saja pelakunya walaupun
dia seorang muslim telah menjadi kafir atau murtad dari Islam.
Al-Imam As-Sam’ani rahimahullah berkata,
“Ketahuilah, sesungguhnya Khawarij berdalil dengan ayat ini (dalam
pengkafiran). Mereka berkata, “Siapa yang tidak berhukum dengan hukum
Allah maka dia kafir”.” [Lihat
Tafsir As-Sam’ani (2/42)]
Atas
dasar kesesatan ini, kaum Teroris Khawarij tidak segan-segan membunuh
kaum muslimin, tidak peduli yang berada di tempat maksiat ataupun yang
sedang beribadah di masjid, karena bagi mereka pemerintah dan seluruh
aparat telah kafir karena,
“Tidak menjalankan syari’at Islam dengan benar”. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan akan kemunculan Khawarij dan sifat-sifat mereka:
يَمْرُقُونَ
مِنَ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ ، يَقْتُلُونَ أَهْلَ
الإِسْلاَمِ ، وَيَدَعُونَ أَهْلَ الأَوْثَانِ ، لَئِنْ أَنَا
أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ
“Mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang meleset dari sasarannya, mereka membunuh
ahlul Islam dan membiarkan
ahlul autsan (kaum musyrikin). Andaikan aku bertemu mereka, maka akan kubunuh mereka seperti pembunuhan kepada kaum
‘Aad.” [
HR. Al-Bukhari (3166, 3344) dan
Muslim (2499)]
Apa
yang disampaikan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits ini
benar-benar sesuai kenyataan yang ada pada kelompok Teroris Khawarij.
Mereka tidak memperhatikan dakwah tauhid dan pemberantasan kesyirikan,
sehingga mereka membiarkan para penyembah kubur yang ada di sekitar
mereka. Bagi mereka kesyirikan saat ini hanyalah kesyirikan di parlemen,
sedangkan kekafiran hanyalah,
“Tidak menjalankan syari’at Islam dengan benar”.
Hadits
ini juga menunjukkan bagaimana seharusnya menyikapi Teroris Khawarij
menurut tuntunan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, sebagaimana telah
kami jelaskan dalam catatan sebelumnya yang berjudul
PERANG TERHADAP TERORIS KHAWARIJ ADALAH KEWAJIBAN PEMERINTAH MUSLIM.
Mungkin benar bahwa
ABB tidak terjun langsung melakukan pengeboman, namun dengan
“fatwa pengkafirannya”, ditambah dengan pujiannya kepada pelaku pengeboman sebagai
“mujahid”, tidak diragukan lagi hal itu merupakan motivasi bagi para pengikutnya untuk bersegera menjadi
“pengantin surga”. Dan semua kesesatan ini berasal dari kesalahan mereka dalam memahami ayat yang mulia di atas.
Adapun pemahaman generasi
As-Salafus Shalih yang
menjadi teladan ummat Islam, tidak sebagaimana yang mereka pahami.
Berikut kami nukilkan penafsiran ayat tersebut dari atsar-atsar Salaf:
- Sahabat yang mulia, Turjumanul Qur’an, Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma berkata
dalam menjelaskan kekafiran orang yang tidak berhukum dengan hukum
Allah Ta’ala pada ayat di atas, “Bukan kekafiran (besar) sebagaimana
pendapat mereka, sesungguhnya itu bukan kekafiran yang mengeluarkan dari
agama, tapi kekafiran kecil (kufrun duna kufrin).” [Riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2/313), beliau menyatakan shahih dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, juga dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, pada ta’liq beliau terhadap hadits no. 2552[1]]
- Beliau (Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma)
juga berkata, “Barangsiapa yang mengingkari hukum Allah maka dia kafir,
adapun yang masih mengakuinya namun tidak berhukum dengannya maka dia
zalim lagi fasik.” [Riwayat Ath-Thobari dalam Jami’ul Bayan (12063), dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, pada ta’liq beliau terhadap hadits no. 2552]
- Tabi’in yang mulia ‘Atho bin Abi Rabah rahimahullah berkata,
“Maksudnya adalah kekafiran di bawah kekafiran (yakni kekafiran kecil),
kefasikan di bawah kefasikan dan kezaliman di bawah kezaliman.”
[Riwayat Ath-Thobari dalam Jami’ul Bayan (12047-12051), dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, pada ta’liq beliau terhadap hadits no. 2552]
- Tabi’in yang mulia, Thawus bin Kaysan rahimahullah berkata, “Bukan kekafiran (besar) yang mengeluarkan dari agama.” [Riwayat Ath-Thobari dalam Jami’ul Bayan (12052), dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, pada ta’liq beliau terhadap hadits no. 2552]
- Tabi’ut Tabi’in yang mulia, Abdullah bin Thawus rahimahumallah berkata, “Tidaklah seperti orang yang kafir kepada Allah Ta’ala, Malaikat-Nya, Kitab-Nya dan Rasul-Nya.” [Riwayat Ath-Thobari dalamJami’ul Bayan (12055), dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam tahqiq beliau terhadap Kitab Al-Iman karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (hal. 256)]
Inilah
sesungguhnya manhaj generasi terbaik yang kita diperintahkan untuk
mengikuti mereka dalam beragama, siapa yang menyimpang dari pemahaman
ini maka dia telah keluar dari jalan satu golongan yang selamat dan
masuk kepada 72 golongan yang sesat.
Demikian pula menurut logika yang sehat, pemahaman Teroris Khawarij dalam mengkafirkan setiap orang yang,
“Tidak menjalankan syari’at Islam dengan benar”, akan
berkonsekuensi mengkafirkan seluruh kaum muslimin yang ada di muka bumi
ini, sebab siapa yang mampu menjalankan syari’ah Islam dengan benar
sepanjang hidupnya?! Apakah ada manusia yang tidak pernah berbuat
salah?!
Dan yang paling minimal, konsekuensi dari
pemahaman rusak Terosis Khawarij ini adalah pengkafiran seluruh pelaku
dosa besar yang sudah jelas-jelas merupakan manhajnya Khawarij generasi
awal. Sebab yang namanya
syari’ah Islam secara hakiki adalah seluruh aturan-aturan kehidupan dalam Islam, tidak sebatas hukum-hukum dalam pemerintahan.
Maka siapa yang melakukan dosa besar seperti membunuh, mencuri, zina
dan lain-lain, adalah pelanggaran syari’ah Islam yang pelakunya kafir
kepada Allah Ta’ala (menurut pemahaman rusak ini, tanpa membedakan orang
yang menghalalkan perbuatan haram tersebut setelah mengetahui
keharamannya dan orang yang melakukannya namun masih meyakini hal itu
tetap haram).
Wal’iyaadzu billahi minal jahli wadh-dholaal.
Syubhat dan Bantahannya
Diantara
syubhat terbesar
Teroris Khawarij yang telah menguasai jiwa dan pikiran mereka adalah
tuduhan mereka bahwa penguasa yang ada sudah benar-benar menghalalkan
hukum peninggalan Belanda, atau menganggapnya sama baiknya dengan hukum
Islam, atau bahkan lebih baik dari hukum Islam, dengan bukti perbuatan
penguasa dalam menetapkan undang-undang yang tidak berdasar syari’ah
Islam.
Jawaban atas syubhat ini:
Pertama: Penghalalan (الاستحلال) yang dimaksudkan para ulama
bukanlah sekedar penghalalan dengan perbuatan tetapi dengan hati (yakni
meyakini apa yang diharamkan Allah Ta’ala itu halal setelah mengetahui
keharamannya menurut syari’ah Islam), oleh karena itu sebagian ulama
mengistilahkan kekafiran perbuatan berhukum dengan selain hukum Islam
ini dengan kekafiran dalam perbuatan (
kufur ‘amali)
yang tidak mengeluarkan dari Islam dan kekafiran dalam keyakinan (
kufur i’tiqodi) yang mengeluarkan dari Islam.
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Al-Faqih Al-Albani rahimahullah berkata,
“Kunci dalam permasalahan ini adalah memahami bahwa kekafiran itu ada
dua bentuk, keyakinan (اعتقادي) dan perbuatan (عملي). Keyakinan
tempatnya di hati, sedangkan perbuatan tempatnya pada anggota tubuh.
Maka barangsiapa yang perbuatannya adalah kekafiran yang menyelisihi
syar’i dan bersesuaian dengan keyakinan yang ada dalam hatinya, itulah
kufur i’tiqodi (kekafiran
besar) yang tidak diampuni Allah Ta’ala dan pelakunya kekal di neraka
selama-lamanya. Adapun jika hatinya menyelisihi kekafiran itu maka dia
beriman dengan hukum Rabbnya, apabila dia menyelisihi hukum tersebut
dengan perbuatannya, maka kekafirannya adalah
kufur ‘amali (kekafiran kecil) bukan
i’tiqodi (kekafiran besar), dia di bawah kehendak Allah Ta’ala, mungkin diadzab dan mungkin diampuni (sebagaimana pelaku dosa besar).” [
Ta’liq Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Ash-Shahihah terhadap hadits no. 2552]
Lalu
dari mana kalian tahu penguasa yang menyelisihi hukum Islam itu telah
menghalalkan hukum yang bertentangan dengan Islam atau menganggap sama
baiknya dengan hukum Islam atau lebih baik dari hukum Islam
dengan hatinya?! Apakah kalian telah membelah dadanya?!
Kedua:
Kalaupun benar sebagaimana yang kalian katakan, bahwa penguasa tersebut
telah melakukan kekafiran besar karena menghalalkan hukum yang
bertentangan dengan Islam atau menganggapnya sama baik dengan hukum
Islam atau bahkan lebih baik dari Islam, maka apakah penguasa yang
tadinya muslim tersebut serta merta menjadi kafir?! Apakah setiap pelaku
kekafiran langsung bisa kita kafirkan?!
Inilah salah satu
titik perbedaan yang mendasar antara manhaj Teroris Khawarij dan manhaj
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam pengkafiran. Karena semangat yang
berlebihan tanpa didasari dengan ilmu sehingga Teroris Khawarij
mengkafirkan setiap muslim yang melakukan kekafiran tanpa mengikuti
kaidah-kaidah pengkafiran menurut Islam. Pembahasan berikut insya Allah
Ta’ala akan menjelaskan beberapa kaidah penting yang harus dipahami
dalam pengkafiran menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Beberapa Kaidah Syari’ah dalam Pengkafiran
- Menghukumi suatu perbuatan sebagai kekafiran atau pelakunya telah kafir adalah hukum syar’i
Berbicara
tentang kekafiran suatu perbuatan dan pengkafiran pelakunya sama halnya
dengan pembicaraan suatu hukum dalam syari’ah, haruslah berdasarkan
ilmu (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Sebab Allah Ta’ala telah mengharamkan
pembicaraan dalam agama-Nya tanpa didasari ilmu, sebagaimana firman-Nya:
وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“(Allah mengharamkan) kalian berkata atas Allah apa yang tidak kalian ketahui.”
[Al-A’rof: 33]
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Makna firman Allah Ta’ala,
“(Allah mengharamkan) kalian berkata atas Allah apa yang tidak kalian ketahui”,
mencakup pembicaraan tentang nama-nama Allah Ta’ala, sifat-sifat-Nya,
perbuatan-perbuatan-Nya dan syari’ah-Nya. Semua bentuk pembicaraan tanpa
ilmu telah diharamkan oleh Allah Ta’ala. Dia melarang hamba-hamba-Nya
untuk melakukan hal itu, karena dalam perbuatan tersebut terdapat
kerusakan yang khusus maupun umum.” [Lihat
Tafsir As-Sa’di (hal. 283)]
Maka
tidak diragukan lagi bahwa pembicaraan tentang kekafiran dan
pengkafiran adalah masalah syari’ah yang harus berdasarkan ilmu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kekafiran adalah hukum syar’i, hanya boleh ditetapkan dengan dalil-dalil syar’iyyah.” [Lihat
Majmu’ Al-Fatawa (17/78)]
Beliau
juga berkata, “Oleh karena itu para ulama Sunnah tidak mengkafirkan
(semua) yang menyelisihi mereka, meskipun orang yang menyelisihi itu
mengkafirkan mereka, karena (menetapkan) kekafiran adalah hukum syar’i.”
[Lihat
Ar-Roddu ‘alal Bakri (2/492)]
Beliau
juga berkata, “Tidak boleh bagi seseorang untuk mengkafirkan orang yang
menyelisihinya, apabila perkataan orang yang menyelisihinya itu bukan
termasuk kekafiran menurut syar’i yang berasal dari pemilik syari’ah
(yaitu Allah Ta’ala). Walaupun akal bisa saja membedakan pendapat yang
benar dan yang salah, namun tidak semua yang salah menurut akal
merupakan kekafiran dalam syar’iah, sebagaimana tidak semua yang
dianggap benar oleh akal harus dianggap baik dalam syar’iah.” [Lihat
Dar-u Ta’arudil ‘Aqli wan Naqli (1/140)]
Beliau
juga berkata, “Demikian pula pengkafiran adalah hak Allah Ta’ala, maka
tidak boleh mengkafirkan seseorang kecuali yang telah dikafirkan oleh
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam.“ [Lihat
Ar-Roddu ‘alal Bakri (2/492)]
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Kekafiran adalah hukum syar’i yang harus kembali kepada Allah dan
Rasul-Nya. Maka apa yang dianggap sebagai kekafiran oleh Al-Qur’an dan
As-Sunnah itulah kekafiran, jika tidak dianggap sebagai kekafiran oleh
Al-Qur’an dan As-Sunnah bukanlah kekafiran. Sehingga tidak harus bahkan
tidak boleh mengkafirkan seorang (muslim) sampai jelas dalilnya dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah atas kekafirannya.” [Lihat
Majmu’ Fatawa wa Rosaail Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin (2/187)]
Oleh karenanya, tidak setiap orang berhak bicara dalam masalah pengkafiran selain para ulama yang benar-benar mendalam ilmunya.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Menghukumi seseorang telah murtad atau keluar dari agama Islam adalah
kewenangan para ulama yang mendalam ilmunya, mereka adalah para hakim di
mahkamah syari’ah dan para ahli fatwa yang diakui keilmuannya.
Sebagaimana pula dalam permasalahan lainnya, berbicara dalam masalah
seperti ini bukanlah hak setiap orang, bukan pula hak para penuntut ilmu
atau yang menisbatkan diri kepada ilmu agama padahal pemahamannya
tentang ilmu agama masih sangat terbatas. Bukanlah hak mereka untuk
menghukumi seseorang telah murtad, karena perbuatan tersebut akan
melahirkan kerusakan. Bisa jadi mereka memvonis seseorang telah murtad
padahal dia tidak murtad. Sedang mengkafirkan seorang muslim yang tidak
melakukan salah satu pembatal keislaman sangat berbahaya. Barangsiapa
yang mengatakan kepada saudaranya,
“wahai kafir” atau
“wahai fasik”,
padahal dia tidak seperti itu maka perkataan itu kembali kepada orang
yang mengucapkannya. Olehnya, yang berhak memvonis murtad hanyalah para
hakim syar’i dan ahli fatwa yang diakui keilmuannya.
Adapun yang merealisasikan hukumannya adalah pemerintah kaum muslimin, selain itu hanya akan melahirkan kekacauan.” (Lihat
Min Fatawa As-Siyasah Asy-Syar’iyyah,
softcopy dari www.sahab.net)
2. Tidak setiap pelaku kekafiran itu kafir
Sangat
penting dipahami bahwa tidak setiap muslim yang melakukan kekafiran
serta merta menjadi kafir, sampai terpenuhi syarat-syarat pengkafiran
(شروط التكفير) dan hilang penghalang-penghalangnya (موانع التكفير).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Tidak setiap orang yang bersalah (melakukan kekafiran) itu menjadi
kafir, terlebih dalam permasalahan yang rumit, yang terdapat banyak
khilaf padanya.” [Lihat
Majmu’ Al-Fatawa (16/434)]
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata, “Tidak setiap mukmin yang melakukan kekafiran serta merta bisa dihukumi kafir.” [
Ta’liq Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Ash-Shahihah terhadap hadits no. 3048]
Oleh
karenanya, wajib bagi setiap muslim berhati-hati dalam mengkafirkan
saudaranya meskipun telah jelas baginya bahwa saudaranya tersebut telah
melakukan suatu amalan kekafiran.
3. Pengkafiran terhadap seorang muslim yang melakukan kekafiran terbagi dua bentuk, pengkafiran terhadap perbuatan (takfir muthlaq) dan pengkafiran terhadap pelakunya (takfir mu’ayyan)
Takfir muthlaq adalah
mengkafirkan suatu perbuatan kekafiran apabila telah dinyatakan sebagai
kekafiran oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak disyaratkan apapun dalam
takfir muthlaq selain adanya dalil yang shahih yang menyatakan suatu perbuatan sebagai kekafiran dan adanya
istidlal yang benar.
Sedangkan
takfir mu’ayyan adalah mengkafirkan pelaku kekafiran. Disyaratkan dalam
takfir mu’ayyan ini
sejumlah syarat-syarat yang harus terpenuhi dan hilang
penghalang-penghalangnya, sebelum menjatuhkan vonis kafir kepada orang
tertentu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Wajib membedakan antara takfir
muthlaq dan
mu’ayyan.” [Lihat
Majmu’ Al-Fatawa (3/230)]
Beliau juga berkata, “Mazhab para imam dalam pengkafiran dibangun atas dasar perincian antara jenis kekafirannya (
muthlaq) dan pelakunya (
mu’ayyan).” [Lihat
Majmu’ Al-Fatawa (23/348)]
Beliau juga berkata, “
Takfir muthlaq tidak mengharuskan
takfir mu’ayyan,
karena bisa jadi sebagian ulama berbicara dalam satu masalah
berdasarkan ijtihadnya lalu mereka tersalah dalam masalah tersebut, maka
tidaklah mereka dikafirkan, meskipun bisa saja orang yang melakukan
kekafiran itu dikafirkan apabila telah tegak
hujjah atasnya.” [Lihat
Majmu’ Al-Fatawa (35/99)]
Faidah: Kaidah ini juga merupakan bantahan kepada mereka yang menuduh
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Salafiyun kerjanya hanya membid’ah-bid’ahkan (tabdi’) dan mengkafir-kafirkan orang. Sebab kebanyakan orang yang menuduh tersebut tidak bisa membedakan yang mana
tabdi’ atau
takfir muthlaq dan yang mana
mu’ayyan, sehingga mereka menyangka Salafiyun mudah menjatuhkan vonis
mu’ayyan kepada
pelaku bid’ah atau kekafiran, padahal yang divonis adalah perbuatannya
ataupun kelompok bid’ahnya bukan person yang melakukannya atau yang
tergabung dalam kelompok bid’ah tersebut.
Contoh vonis
muthlaq, apabila kita mengatakan,
“Demonstrasi kepada pemerintah kaum muslimin adalah bid’ah”, atau
“Siapa yang melakukan demonstrasi kepada pemerintah kaum muslimin maka dia seorang Ikhwani (pengikut IM) Khariji (yang bermanhaj Khawarij)”.
Ucapan di atas jelas berbeda jika kita mengatakan,
“Fulan adalah ahli bid’ah karena dia telah melakukan kebid’ahan” dan
“Fulan adalah ahli bid’ah karena dia telah bergabung dengan kelompok bid’ah”.Dua contoh yang terakhir ini adalah vonis
mu’ayyan kepada
fulan (individu) tertentu yang tidak boleh dilakukan kecuali terpenuhi
syarat-syaratnya dan hilang penghalang-penghalangnya.
Bahaya Mengkafirkan Seorang Muslim
Wajib
menahan diri dari mengkafirkan seorang muslim yang melakukan kekafiran
sampai terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan hilang
penghalang-penghalangnya, karena mengkafirkan seorang muslim
yang tidak layak dikafirkan adalah perbuatan yang sangat berbahaya. Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan:
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ . فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya,
“Wahai kafir”, maka ucapan tersebut pasti kembali kepada salah seorang dari keduanya.” [
HR. Al-Bukhari (6103, 6104) dan
Muslim (225)]
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
لاَ
يَرْمِى رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفُسُوقِ ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ ،
إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِك
“Tidaklah
seorang menuduh orang lain dengan kefasikan dan kekafiran, kecuali akan
kembali kepada penuduhnya apabila orang yang dituduh tidak seperti
itu.” [
HR. Al-Bukhari (5698)]
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ. وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan kekafiran, atau mengatakan,
“Wahai musuh Allah”, padahal tidak seperti itu, maka (ucapan tersebut) kembali kepadanya.” [
HR. Muslim (226)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Hadits ini sebagai peringatan keras kepada setiap muslim, jangan
sampai menuduh saudara muslimnya dengan kekafiran atau kefasikan.”
[Lihat
Fathul Bari (10/466)]
Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah berkata, “Ini adalah ancaman besar bagi siapa yang mengkafirkan seorang muslim padahal dia tidak kafir.” [Lihat
Ihkamul Ahkam (hal. 420)]
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata,
“Ketahuilah, menghukumi seorang muslim telah keluar dari Islam dan
masuk kepada kekafiran tidaklah sepatutnya dilakukan oleh seorang muslim
yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir kecuali dengan bukti
yang lebih jelas dari matahari siang”. Lalu beliau menyebutkan
hadits-hadits di atas dan berkata, “Maka dalam hadits-hadits ini dan
hadits-hadits lain yang semisalnya terdapat peringatan yang paling agung
dan nasihat yang paling besar agar berhati-hati dari sikap terburu-buru
dalam mengkafirkan.” [Lihat
As-Sailul Jarror (4/578)]
Lalu
kapankah seorang muslim yang melakukan kekafiran dapat dihukumi sebagai
kafir? Apa sajakah syarat-syaratnya pengkafiran dan
penghalang-penghalangnya? Insya Allah Ta’ala akan datang pembahasannya
pada catatan berikutnya, sesuai dengan kemudahan yang Allah Ta’ala
berikan.
Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Musta’an.
[1] Sebab
turunnya ayat ini (Surat Al-Maidah: 44-46) berkaitan dengan orang-orang
yang memang kafir dari kalangan Yahudi, sehingga untuk menerapkan ayat
ini kepada kaum muslimin perlu adanya kaidah-kaidah sebagaimana yang
dijelaskan
As-Salafus Shalih di atas, oleh karena itu
Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam
ta’liq beliau
terhadap kisah sebab turunnya ayat tersebut, “Maka tidak boleh membawa
ayat ini atas sebagian penguasa muslim dan para hakimnya yang berhukum
dengan selain hukum Allah Ta’ala dengan berbagai bentuk undang-undang
buatan manusia. Aku katakan, tidak boleh mengkafirkan dan mengeluarkan
mereka dari agama dengan sebab perbuatan itu, apabila mereka masih
beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam.
Meskipun mereka telah berbuat jahat karena berhukum bukan dengan hukum
Allah Ta’ala tetap saja tidak boleh mengkafirkan mereka. Karena walaupun
mereka sama dengan Yahudi dalam permasalahan ini, namun mereka berbeda
dengan Yahudi dalam permasalahan yang lain, yaitu iman dan pembenaran
mereka terhadap ajaran yang Allah Ta’ala turunkan, berbeda dengan orang
Yahudi yang menentangnya.” [
Ta’liq Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Ash-Shahihah terhadap hadits no. 2552]
Sumber:
http://nasihatonline.wordpress.com/2011/04/29/mengkafirkan-penguasa-muslim-adalah-akar-kesesatan-teroris-khawarij/