Membincang 15 tahun reformasi tidak afdol kalau tidak menyertakan
fenomena sosial yang terjadi di sekeliling kita. Misalnya,
tulisan-tulisan atau gambar di bak truk atau pantat bus mini yang
menggelitik. Bak-bak truk yang identik dengan gambar-gambar seronok,
kini mulai mengalami modifikasi. Pesan-pesan yang ingin disampaikan
tidak sekadar mencerminkan impuls syahwat, namun sudah menyodok ke
pesan-pesan ideologis dan politis.
Paling marak adalah gambar penguasa Orde Baru, Soeharto, dengan kutipan ucapan yang membuat kita
mesem. Misalnya,
“Esih enak jamanku toh?” (jaman = zaman). Atau
“Piye bro kabare? Enak jamanku toh?” (bro = idiom gaul dari kata “brother”).
Banyak lagi bentuk kutipan yang maknanya sama. Satu hal yang menarik,
hampir seluruh kutipan itu ditulis dalam bahasa Jawa. Begitu pula
pesan-pesan yang dicetak dalam bentuk stiker yang dijual umum. Artinya,
pembuat pesan bisa dipastikan orang Jawa. Karena Soeharto adalah orang
Jawa, maka ada hubungan genetik dan etnografik antara pembuat pesan dan
tokoh yang ditampilkan dalam pesan itu.
Mungkin hanya kebetulan saja kalau si penulis pesan orang Jawa. Lebih
penting dari itu adalah makna dari pesan-pesan itu. Penulis pesan ingin
menyampaikan perbandingan keadaan masa Orde Baru dengan keadaan
sekarang menurut persepsi dan pemahamannya. Pesan itu disampaikan dalam
bentuk sindiran. Dalam persepsi sang pembuat pesan, kehidupan di masa
Orde Baru ternyata masih lebih baik daripada era reformasi sekarang.
Tentu saja, penilaian “lebih baik” itu dalam pemahaman si pembuat pesan.
Kru truk (sopir dan kernet) adalah bagian dari masyarakat kelas
bawah. Mereka bersama dengan orang-orang di kelasnya lazim disebut
sebagai “wong cilik”. Terminologi “wong cilik” digambarkan sebagai
orang-orang yang hidup sederhana, penghasilan mereka hanya cukup untuk
pangan-sandang-papan, berpendidikan rendah, dan memiliki pemahaman
tentang kehidupan berdasarkan sosialisasi dalam pergaulan.
Kemajuan teknologi informasi membuat pengetahuan mereka tentang
politik dan pemerintahan mungkin tidak berbeda jauh dari kelas
masyarakat yang lebih tinggi. Akses mereka terhadap media cukup terbuka,
terutama media radio, koran, dan televisi. Namun, kepemilikan telepon
seluler yang sudah massal memungkinkan mereka bisa mengakses internet
sebagai media keempat mutakhir dan paham teknologi digital. Jika asumsi
ini benar, maka pesan-pesan verbal yang mereka buat mencerminkan
kesimpulan dari pemahaman mereka atas kondisi sosial politik saat ini.
Memahami Reformasi
Pesan-pesan itu bisa direspons beragam oleh orang yang membacanya.
Orang bisa setuju atau tidak setuju. Bagi pihak yang setuju, tentu
sependapat kalau dalam banyak hal memang kondisi kehidupan sekarang
tidak lebih baik daripada era Orde Baru. “Tidak lebih baik” menurut
ukuran-ukuran tertentu di mata
wong cilik yang berbasis kebutuhan
primer. Misalnya, ketersediaan sembako dengan harga murah, stabilitas
politik, keamanan, hubungan sosial, dan harmoni.
Bagi pihak yang tidak setuju, tentu punya penilaian sendiri tentang
perbandingan kehidupan di masa Orde Baru dan sekarang. Misalnya,
kualitas kehidupan tidak bisa diukur dari aspek kebutuhan dasar dan
keamanan lingkungan saja. Ada kebutuhan lain yang justru lebih bersifat
asasi, misalnya kebebasan. Tamsil tentang kebebasan adalah ilustrasi
burung dalam sangkar. Burung pun selalu mendambakan kebebasan. Kalau
tidak percaya, bukalah pintu sangkar, maka burung akan cepat menerobos
pintu untuk bisa hidup bebas.
Orde Baru yang otoriter dan represif bukanlah impian orang yang
mendambakan kebebasan sebagai fitrah kehidupan yang dianugerahkan oleh
Tuhan kepada manusia. Juga bukan cita-cita orang yang menginginkan
kualitas kehidupan yang lebih tinggi, seperti kecerdasan, kebebasan
mengakses informasi, dan mengembangkan diri sesuai kebutuhan asasi
setiap manusia. Kebutuhan yang sudah merupakan hak dasar manusia yang
dianugerahkan Tuhan lewat Nabi Adam sebagai moyang umat manusia, yakni
ketika Adam dengan lancar menyebutkan nama-nama benda sebagai simbol
peradaban manusia.
Reformasi adalah proses mewujudkan hak-hak dasar manusia itu secara
aktual oleh negara, bukan hanya dalam retorika, seperti Thomas Jefferson
di era perbudakan Amerika Serikat (AS) yang berkata “…seluruh manusia
diciptakan sama” tapi dia memelihara budak. Reformasi adalah menjadikan
supremasi hukum sebagai bagian dari ideologi negara, mewujudkan
pemerintahan yang demokratis dengan mengedepankan transparansi dan
akuntabilitas, serta memberi kesempatan setiap orang untuk berkembang
sesuai kebutuhan sosialnya. Dengan begitu, cita-cita masyarakat yang
adil dan makmur bisa dicapai.
Karena itu, reformasi bisa berlangsung panjang lintas generasi,
melelahkan, dan berdarah-darah. Sebelum mencapai keadaan seperti
sekarang, negara-negara di Eropa dan AS telah melalui reformasi yang
berlangsung selama ratusan tahun. Proses reformasi di Eropa berlangsung
selama tiga abad dari tahun 1300-1600. Reformasi di AS dimulai sejak
abad 18 dan belum selesai hingga sekarang!
Sebelum reformasi, Eropa melewati abad kegelapan hingga
Renaissance.
Reformasi keagamaan dan revolusi ilmiah di Eropa harus melewati perang
agama yang panjang. Reformasi di AS melewati berbagai tahapan yang juga
berdarah-darah, termasuk perang saudara yang panjang. Reformasi itu
dimulai dari tahap penghapusan perbudakan (
abolition movement), gerakan antirasialisme kulit hitam, penegakan hak-hak konstitusional dan hak sipil rakyat (
civil rights), dan hak-hak politik kaum perempuan.
Jika mengacu pada sejarah reformasi di Eropa dan AS itu, 15 tahun
perjalanan reformasi Indonesia belumlah apa-apa, belum satu generasi.
Mungkin baru menyentuh kulitnya. Karena itu, hasil reformasi belum bisa
disimpulkan hanya dengan membandingkan kehidupan masa Orde Baru dengan
era pemerintahan sekarang. Dalam teori Samuel Huntington, perubahan itu
baru menyangkut transisi politik yang masih terus berproses menuju
konsolidasi demokrasi.
Keuntungan bagi kita adalah bisa belajar dari pengalaman reformasi di
Eropa dan AS, sehingga bisa digagas akselerasi dan tidak perlu menempuh
masa panjang berabad-abad. Satu hal yang penting bagi kita dalam
memahami reformasi adalah mengkritisi dan mengoreksi prosesnya agar
sesuai agenda yang sudah dicanangkan dalam konstitusi dan bersabar
menghadapinya. Perubahan sosial bisa berlangsung lama sesuai tujuan yang
ingin dicapai dan kesiapan masyarakat menghadapinya.
Lalu bagaimana pendapat anda dengan realita yang terjadi sekarang ini sudahkah reformasi membawa kamakmuran rakyat ataukah masih kemakmuran untuk pejabat dan birokrat....?