• Pengertian/Arti Walisongo
• Sejarah Walisongo
• Tokoh Pendahulu Walisongo
• Teori Keturunan Hadramaut
• Teori Keturunan Cina
• Sumber Tertulis
• Refferensi
ARTI / PENGERTIAN WALISONGO
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali
yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga
dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga
berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat
lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti
tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis
dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik
Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah
Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq
(Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi);
Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra’il
(dari Champa), Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana
‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama
yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
3. Sunan Drajat atau Raden Qasim
4. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
5. Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq
6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7. Sunan Muria atau Raden Umar Said
8. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
9. Sunan Kalijaga atau Raden Said
Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada
masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi
peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam,
perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke
pemerintahan.
SEJARAH WALISONGO / WALISANGA MENURUT PERIODE WAKTU
Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad
Dahlan,[1] majelis dakwah yang secara umum dinamakan Walisongo,
sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Walisongo tidak hidup
pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai
keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun
dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat,
maka posisinya digantikan oleh tokoh lainnya:
• Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad
Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra’il
(wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana
Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir atau juga disebut
Syaikh Muhammad Al-Baqir.
• Angkatan ke-2 (1435 – 1463 M), terdiri dari Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim,
Maulana Ishaq (wafat 1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus yang
tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il, Sunan Gunung Jati yang
tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin
(wafat 1462), Maulana ‘Aliyuddin (wafat 1462), dan Syekh Subakir (wafat
1463).
• Angkatan ke-3 (1463 – 1466 M), terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq,
Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad Al-Maghrabi
(wafat 1465), Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang yang tahun
1462 menggantikan Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462
menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463
menggantikan Syaikh Subakir.
• Angkatan ke-4 (1466 – 1513 M, terdiri dari Sunan Ampel (wafat 1481), Sunan Giri (wafat 1505), Raden Fattah yang
pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah Khan
(Falatehan) yang pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi,
Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan
Kalijaga (wafat 1513).
• Angkatan ke-5 (1513 – 1533 M), terdiri dari Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat
1517), Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak
iparnya Sunan Giri, Raden Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan
(Falatehan), Sunan Kudus (wafat 1550), Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang
(wafat 1525), Sunan Derajat (wafat 1533), dan Sunan Muria yang tahun
1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga.
• Angkatan ke-6 (1533 – 1546 M), terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan
ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun
1540 menggantikan kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana
yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan
(wafat 1573), Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya
Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati (wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan
Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan Bonang, Sunan
Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan
Muria (wafat 1551).
• Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang tahun 1570
menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang tahun
1546 menggantikan ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan
Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan,
Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan
ayahnya Sunan Gunung Jati, Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan
Sunan Lamongan, Sunan Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya
Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir
Hasan yang tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan
Muria.
• Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan Sedayu
(wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan
gurunya Sunan Prapen, Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549
menggantikan Sultan Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana
Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650
menggantikan Sunan Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri
yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh
(Panembahan Pekaos).
SYEKH JUMADIL QUBRO (TOKOH PENDAHULU WALISONGO)
Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra bin Husain
Jamaluddin bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan
bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam
bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin
Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad
Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah
Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra
Husain Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan
(Putri Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan
dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor
penyebaran Islam di tanah Jawa.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau
di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana
yang betul-betul merupakan kuburnya.
TEORI KETURUNAN HADRAMAUT
Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan
Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya
tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh
daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum
Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al
Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa
Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
# L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan
riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes
dans l’archipel Indien (1886)[5] mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah
dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam
tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari
mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan
golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh
sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah
keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
# Van Den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau
keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu.
Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka
mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan
kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di
kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh
karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad
SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang
Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab,
mengikuti jejak nenek moyangnya.”
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan
abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di
pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang
merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut
yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri,
Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
# Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab
Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat
(Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat
Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India
pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
# Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi’i bercorak tasawuf dan
mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba &
Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan
lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka,
Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul
Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari
Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun
kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut,
karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang
menggabungkan fiqh Syafi’i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan
Ahlul Bait.
# Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti
Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar
tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar
Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar
Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak
dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga
besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga
pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang
banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali
Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
TEORI KETURUNAN CINA
Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya
Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah
keturunan Tionghoa Indonesia. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras
masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan
Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku
tersebut.
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari
atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang
kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber
akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan
Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang
yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang
belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai
sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C.
van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah
Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah
sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat
detail dan banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C.
Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries
adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula
tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan
bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat
ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan.
SUMBER TERTULIS TENTANG WALISONGO
1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang
Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad
ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan
anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad
Tanah Jawi.
2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd
(meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah
perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia
menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam
karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking
Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir
al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, ‘Umdat al-Talib oleh
al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur;
juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia
disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar
Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab
Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba’alawi
Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi
Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam
Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid
Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad
Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan
bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin
As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad
bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir
bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin
Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali
Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali
bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah
Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad
ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti
pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[2] Dalam cerita
rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Isteri Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti Fathimah binti
Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1),
memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah 2. Siti
Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim,
Abdul Ghafur, dan Ahmad 3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar
Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf. Selanjutnya
Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid
Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua
putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan
Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera
Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang
mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam
dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa
yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha
menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang
saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik.
Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura
Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi
Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan
seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa
Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan
Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin
Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid
Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad
Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid
Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad
Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi
bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal
Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi
Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh
para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan
merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia
menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila, putri
adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah
binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati
alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti
Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah.
Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning,
berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan
Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden
Faqih (Sunan Ampel 2. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel,
Surabaya.
Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Bonang, sederetan gong kecil diletakkan horisontal.
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23
dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng
Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak
berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk
agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang
Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada
gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab danbonang, yang sering
dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya
sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut
G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja
mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.
Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23
dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng
Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak
berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan,
kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan
dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri
sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran,
Lamongan. Tembang macapat Pangkurdisebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan
Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat,
Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.
Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan
Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti
Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24
dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali
Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin
Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil
Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin
Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin
Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin
Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti
Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki
peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai
panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim
peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan
priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan
Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan.
Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang
arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan
wafat pada tahun 1550.
Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23
dari Nabi Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara
seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di
Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah
Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan
Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen,
yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung
Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir).
Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang
kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul
umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan
Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq,
menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano
Kediri binti Raja Kediri.
Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah
putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti
Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan
Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Gapura Makam Sunan Gunung Jati diCirebon, Jawa Barat
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah
Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar.
Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara
Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati
mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang
sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama
Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan
menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal
berdirinya Kesultanan Banten.