JAKARTA, suaramerdeka.com - Sikap yang membabi buta
menyalahkan 11 oknum anggota Kopassus pelaku penyerbuan dan pembunuhan
di LP Cebongan, tidak perlu terjadi.
Menurut Petisi 28, sebelas anggota Kopassus melakukan tindakan tersebut, diawali karena hukum sipil yang tidak tegak.
"Ini semua karena hukum sipil tak tegak. Bagaimana bisa kita membabi
buta menyudutkan 11 prajurit muda Kopassus, sambil membela empat orang
kriminal yang diduga peliharaan Polri yang terbukti membunuh, merampok,
memperkosa dan mengedarkan narkoba yang telah merusak generasi muda
bangsa," kata pegiat Petisi 28 Haris Rusly Motti dalam siaran persnya,
Jumat (5/4) siang.
Petisi 28 mengajak publik juga mengkritisi Densus 88 Polri yang juga
berulang kali membantai orang yang belum terbukti di mata hukum sebagai
teroris.
Selain itu pembunuhan terhadap empat kriminal tersebut terjadi,
karena para kriminal itu jumawa, bisa tak tersentuh hukum, lantaran
hukum di negeri ini tak pernah menjadi sarana penegakkan keadilan.
Para preman dan oknum aparat yang membekinginya justru ancaman nyata bagi rasa aman rakyat.
Di sisi lain, pelaku yang anggota Kopassus, kepada Brigjen Unggul K
Yudhoyono menyatakan dengan penuh kesadaran, siap mempertanggungjawabkan
perbuatannya, apapun resiko atas dasar kehormatan sebagai prajurit
kesatria.
"Tentu, sikap kita akan berbeda bila yang dibunuh oleh 11 prajurit
Kopassus adalah orang kecil seperti Mbok Minah, Ibu Prita, atau para
petani, buruh dan mahasiswa yang memperjuangkan haknya," pungkas Haris.