Sungguh
terasa pilu tatkala mendengar cerita tetangga yang terbelenggu dengan
hutang berbunga tinggi. ia seorang petani yang rata-rata penghasilan juga tidak sesuai dengan harga kebutuhan yang semakin tinggi.dan sebagian dari mereka memang sudah terjerat sebelumnya hingga dari 800rb jadi puluhan juta karena berbunga terus dan beranak pinak bahkan untuk menutup hutang tersebut juga ambil lagi dari renternir akhirnya makin terjepit Lantaran keterdesakan
ekonomi keluarga . Setiap hari rumahnya selalu didatangi
seorang tamu yang sama. Tamu itu datang untuk menagih utang sebesar 4juta dan bunganya 60rb per hari kalau di hitung perbulan kurang lebih bunganya hampir 60%per bulan. Nasib yang sama juga dialami beberapa tetangga saya yang lain sehingga banyak di antara mereka yang akhirnya jual rumah tempat tinggal satu satunya dan ada juga yang jual tanah dan masih banyak lagi dari nasib mereka yang lebih menyedihkan. Mereka merasa terbeban dengan
bunga yang terlalu tinggi itu. Anehnya, lembaga keuangan itu mengaku
diri sebagai koperasi. Koperasi yang mana? Koperasi fiktif?
Iya,
sekiranya begitulah jawaban sementaranyanya. Akhir – akhir ini bisnis
penjualan uang berkedok “koperasi” telah membius masyarakat kita.
“Koperasi” ini biasanya beroperasi dan melakukan transaksi di pasar –
pasar tradisional. Targetnya jelas, para pedagang pasar dan masyarakat pedesaan yang tidak berpengalaman.
Memang,
dalam perjalanan sejarah manusia, praktek melepaskan uang dengan bunga
tinggi dan jangka waktu yang relatif pendek ini sudah terjadi lama. Wayne A. M Visser dan Alastair McIntosh (1998 : 175 – 189) dalam A Short Review of the Historical Critique of Usury
menjelaskan bahwa praktek riba setidaknya sudah berjalan sejak empat
ribu tahun yang lalu dan selama sejarah itu pula, praktek ini dikutuk,
dilarang, dihina dan dihindari. Kita biasa mengenalnya dengan riba
(rente) atau pelepasan uang. Sedangkan orang yang melepaskan uang
disebut rentenir. Konsep riba (rente) merujuk pada praktek pengisian
kepentingan finansial yang sangat tinggi melebihi nilai pokok pinjaman.
Jangka waktu pengembalian pinjamannya pun relatif pendek. Hanya dalam
hitungan beberapa minggu. Praktek riba (rente) menyebabkan tingkat
pendapatan pedagang pasar menjadi kecil bahkan balik merugi. Keuntungan
setiap hari harus harus digunakan untuk membayar cicilan dan bunga yang
tinggi. Dampak lanjut, pertumbuhan usaha pedagang rendah dan tidak
jarang berakibat gulung tikar. Akibat utang tersebut, usaha dagang bisa collaps
dan berujung masalah. Ketidakadilan pun akan terlihat sangat nyata –
yang punya uang akan makin kaya, yang miskin akan terus tersungkur
miskin dan menyembah derita.
Beberapa
agama besar pun tak tinggal diam untuk mengutuknya. Praktek riba
(rente) dalam agama Hindu dan Budha dapat kita temukan dalam naskah kuno
India. Teks - teks Veda India kuno (2.000-1.400 SM) mengkisahkan
“lintah darat” (kusidin) disebutkan sebagai pemberi pinjaman dengan
bunga. Atau dalam dalam teks Sutra (700-100 SM) dan Jataka Buddha
(600-400 SM) menggambarkan situasi sentimen yang menghina riba. Sebagai
contoh, Vasishtha, seorang Hindu terkenal pembuat hukum waktu itu,
membuat undang-undang khusus yang melarang kasta yang lebih tinggi dari
Brahmana (pendeta) dan Ksatria (pejuang) menjadi rentenir atau pemberi
pinjaman dengan bunga tinggi. Juga, dalam Jataka, riba disebut sebagai “hypocritical ascetics are accused of practising it”.
Pada abad kedua, riba telah menjadi istilah yang lebih relatif, seperti
yang tersirat dalam hukum Manu, “ditetapkan bunga melampaui tingkat
hukum yang berlaku.
Riba
(rente) dalam hukum Islam adalah usaha orang kaya menambahkan
kekayaannya dari orang miskin. Lebih lanjut, “Hai orang-orang yang
beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279). Atau “Orang-orang yang
makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila.” (QS Al-Baqarah: 275). Kritik riba dalam Islam sudah ada sejak Nabi Muhammad dan diperkuat oleh berbagai ajarannya di Al-Qur’an.
Riba (rente) dalam Yudaisme sangat dicerca dan dicemooh. Kata Ibrani untuk bunga ‘neshekh‘,
secara harfiah berarti “menggigit”. Pengertian ini merujuk pada bunga
tinggi yang menyengsarakan. Dalam Keluaran dan Imamat, kata “riba”
selalu berkaitan dengan pelarangan pinjaman kepada orang miskin dan
melarat. Sementara dalam Ulangan, larangan ini diperluas untuk mencakup
semua peminjaman uang. Selain itu, dalam kitab Talmud, dilarang
mengambil bunga dalam beberapa jenis kontrak penjualan, sewa dan kerja.
Larangan mendapatkan bunga tinggi tersebut tidak dianggap sebagai
kejahatan dengan sanksi pidana mati melainkan hanya sebagai pelanggaran
moral.
Gereja
Katolik Roma sejak abad ke-4 melarang pengambilan bunga oleh para
kleru. Larangan ini diperluas bagi kaum awam pada abad ke-5. Pada abad
ke-8, Gereja Katolik menyatakan riba menjadi tindak pidana umum. Gerakan
anti-riba terus mendapatkan tempat selama awal Abad Pertengahan.
Puncaknya, pada tahun 1311, Paus Clement V membuat larangan riba dan
menyatakan bahwa semua undang-undang yang mendukung, batal demi hukum.
Pada tahun 1891, Paus Leo XIII dalam “Rerum Novarum“,
riba dikatakan sebagai kerakusan. Walau sering dikutuk Gereja, praktek
ini masih sering terjadi. Bahkan pada tahun 1989, Paus Yohanes Paulus II
dalam Sollicitude Rei Socialis secara eksplisit menuduh praktek riba sebagai penyebab krisis dunia ketiga.
Sampai
pada titik ini, kita pun sepakat bahwa praktek riba (rente) yang
ditawarkan di pasar – pasar tradisional kita sebenarnya suatu kerakusan.
Agama secara jelas mengutuknya sebagai cara orang – orang kaya
memperoleh tambahan penghasilan dari memeras keringat orang miskin.
Praktek riba (rente) tak segan – segan menghisap pedagang pasar. Benar
juga, sampai dijuluki “lintah darat”.
Anehnya,
menghadapi rentenir yang berkeliaran bebas di pasar – pasar, pemerintah
seakan tinggal diam. Kementerian dan dinas terkait pun duduk sebagai
penonton bisu. Tidak tahu mau bertindak seperti apa. Mengapa? Tongkat
(hukum) pengusir rentenir patah. Hukum perbankan kita bagai anjing sakit
gigi, menggonggong saja tidak bisa.
Dalam
sistem hukum positif Indonesia, perjanjian pinjam-meminjam yang
disertai bunga merupakan suatu bentuk perjanjian yang lahir berdasarkan
atas kepakatan antara pemilik uang dan pihak peminjam. Perjanjian
semacam ini, di satu pihak dikenal atau diperbolehkan baik dalam sistem
Hukum Adat maupun dalam sistem Hukum Perdata. Di lain pihak, tidak ada
larangan dalam Hukum Pidana (khususnya tindak pidana perbankan).
Sehingga adalah sangat keliru kalau seseorang yang meminjamkan uang
dengan bunga tinggi (rentenir) dikatakan menjalankan praktik “bank
gelap”.
Yang
dimaksudkan dengan ‘bank gelap’ di sini adalah orang atau pihak-pihak
yang menjalankan kegiatan yang seolah-olah bertindak sebagai bank,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) jo. Pasal 16 ayat (1) UU
No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (“UU 10/1998”). Pasal 46 ayat 1 UU No.10 Tahun 1998 merumuskan
sebagai berikut, “Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan tanpa izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
serta denda sekurang-kurangnya Rp10 miliar dan paling banyak Rp200
miliar”.
Dari
rumusan Pasal 46 ayat (1) UU No. 10/1998 di atas, jelas yang dilarang
adalah perbuatan menghimpun dana dari masyarakat. Sedangkan, perbuatan
yang dilakukan pihak yang menyalurkan atau meminjamkan uang dengan bunga
tinggi (rentenir) tidak dilarang dalam UU Perbankan. Dengan demikian,
rentenir tidak dapat dikualifikasi sebagai suatu tindak pidana
perbankan, dengan kata lain tidak menjalankan usaha bank gelap.
Argumentasi
hukum pernyataan di atas didukung oleh aturan undang-undang. Dalam hal
ini, BW (Burgerlijk Wetboek) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
sampai saat ini masih berlaku tentang perjanjian pinjam-meminjam uang
yakni Pasal 1754 KUH Perdata. Rumusannya sebagai berikut,
“Pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang
yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini
akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama
pula.”
Ada
pun mengenai pinjam-meminjam uang yang disertai dengan bunga dibenarkan
menurut hukum. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1765 KUH Perdata
yang merumuskan, “diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang
atau barang lain yang habis karena pemakaian”. Sampai berapa besar bunga
yang diperjanjikan tidak disebutkan, hanya dikatakan: asal tidak
dilarang oleh undang-undang.
Nah,
sekiranya kalimat terakhir di atas menjadi titik lemahnya hukum
perbankan kita. Tidak ada standar bunga bagi pelepasan uang oleh
rentenir. Dari segi agama sudah jelas, sangat keras mengutuknya.
Tinggal, wewenang eksekutif dan legislatif mempertimbangkannya.
Semestinya pemerintah dan wakil rakyat tidak seperti anjing sakit gigi
dalam memerangi pelepas uang berkedok koperasi ini.
Akhirnya, Aristoteles pernah berkata “pecunia pecuniam non parit”, (uang tidak bisa melahirkan uang), karena uang sepatutnya dapat dihasilkan dari kerja dan usaha.
dari catatan tersebut diatas adakah jalan untuk menghentikan praktek semacam itu dan bila di biarkan akan semakin banyak masyarakat kecil yang akan jadi korban yang untuk hidup sehari hari sudah sangat sulit.semoga Alloh memberikan pertolongan kepada masyarakat sekitar saya dan memberikan hidayah kepada retenir tersebut.