Menyaksikan wawancara walikota Surabaya Tri Rismaharini di Mata Najwa Metro
TV (12/2) terlihat betapa besar dan berat beban yang dipikulnya dalam
menghadapi segala persoalan. Risma memang fenomenal, ia mampu
membereskan berbagai persoalan besar yang dihadapi Surabaya selama ini
sebagai kota besar. Tidak dipungkiri taman kota banyak berdiri, kota
tampak bersih dan sejuk. Seabrek penghargaan baik dalam dan
luar negeri di sandangnya, dijadikan salah satu walikota terbaik di
dunia bukanlah hal yang berlebihan.
Dalam wawancara itu
tergambar pesoalan kota Surabaya memang kompleks, termasuk ketika harus
membereskan masalah lokalisasi. Pada mulanya ia enggan karena
masih belum sanggup menemukan solusi yang pas kalau memang lokalisasi
itu benar-benar ditutup. Akhirnya melalui kuasa Tuhan ia ditunjukkan
jalan. Ia teluluri sendiri para PSK itu untuk menemukan akar persoalan
sesungguhnya. Betapa terkejutnya, ia menemukan bahwa yang berprofesi
seperti itu adalah anak-anak usia sekolah. Dan ditambah lagi beberapa
yang sudah tua masih menjalani profesi itu.
Risma melihat bahwa
ini adalah persoalan besar yang harus dituntaskan, apalagi menyangkut
aspek sosial dan ekonomi serta masa depan generasi mendatang. Tidak
mudah memang mengatasi persoalan sosial kemasyarakatan
dibandingkan dengan membangun taman kota. Ia tetap pada komitmen untuk
menutup lokalisasi dengan caranya sendiri, yang saat ini terus dalam
proses dan tentu saja tantangan dari yang pro maupun kontra.
Persoalan pun
bertambah tidak saja mengurusi manusia, binatang pun tidak luput dari
perhatiannya. Kebun Binatang Surabaya (KBS) menjadi polemik tersendiri
akibat konfliks internal dan disamping itu ada wacana untuk
mengalihfungsikan menjadi hotel dan mal di tempat itu yang lahannya
adalah milik pemkot. Peliknya persoalan itu berakibat banyak satwa yang
mati tidak wajar. Persoalan semakin rumit karena disinyalir ada mafia
besar yang bermain di situ.
Belum sampai di situ persoalan bertambah lagi dengan dilantiknyanya wakil walikota Surabaya Wisnu
Sakti Buana yang menggatikan Bambang DH yang mengundurkan diri karena
maju menjadi calon gubernur Jatim 2013. Dalam proses pemilihan ini,
Risma sendiri sebagai walikota –sepertinya- tidak diajak rembuk untuk
pemilihan wakilnya itu. Menurut Risma ada yang tidak prosedural dalam
proses pemilihan sampai pelantikannya, dan itu yang membuat dirinya
dilema untuk pertanggungjawabannya. Terutama di akherat nanti tuturnya.
Beban yang sudah berat
semakin tambah berat karena PDI-P sebagai partai pengusung seakan tidak
berpihak padanya, sedangkan wakil walikota yang sudah dilantik Wisnu
Sakti Buana yang sebelumnya saat menjadi wakil ketua DPRD Surabaya pada
tahun 2011 turut mengajukan pemakzulan walikota. Upaya itu tidak
berhasil karena ditolak pemerintah pusat. Dan begitu beratnya beban
sehingga dalam wawancara tersebut –sebagai perempuan- ia tidak kuasa
membendung air mata.
Beban Risma dibanding Jokowi
Risma dan Jokowi adalah figur yang hebat dalam mengatasi peliknya permasalahan ibu kota. Pada beberapa
sisi ada perbedaan keduanya dalam memikul beban. Beban yang dipikul
Risma memang sungguh berat, dan semakin berat karena Risma harus
memikulnya seorang diri. Ini sangat jauh berbeda dengan Jokowi yang bisa
jadi bebannya juga sama atau malah lebih berat. Namun beban berat yang
dipikul Jokowi menjadi lebih ringan karena ia tidak memikul
sendirian. Banyak pihak yang membantu Jokowi namun kondisi jauh berbeda
dengan Risma.
Pertama, Risma tidak didukung penuh PDI-P.
Risma memang di dukung oleh DPP PDI-P termasuk Megawati namun tidak
didukung pada tingkat daerah (Surabaya) bahkan terkesan menolaknya.
Gesekan internal PDI-P ini yang kadang membuat Risma jengah,
karena pada tataran tertentu posisi partai didaerahlah yang mempunyai
kebijakan. Di tingkat pusat tidak bisa mengintervensi terlalu jauh
karena aturan organisasinya memang demikian. Pengaruhnya jelas pada
jalannya roda pemerintahan terutama berhubungan dengan DPRD Surabaya.
Kondisi ini ini
berbeda dengan Jokowi yang malah didukung langsung oleh sang ketum
Megawati. Semua kompak mendukung Jokowi mulai dari DPP sampai pada
tingkat anak cabang (kecamatatan) di DKI. Para anggota dewan di DPRD
dari PDI-P dan koalisanya Gerindra juga kompak mendukung Jokowo-Ahok .
Energi Jokowi juga terbagi dengan Ahok yang juga klop sebagai
wakilnya untuk berbagi tugas. Sangat berbeda dengan Risma sebagai
walikota, ia pikul sendiri permasalahan. Wakil walikota yang seharusnya
membantu tugasnya malah terpilih figur yang pernah bermasalah dengan
dirinya ditambah lagi proses pemilihanya yang dianggap tidak prosesural
dan sepihak. Dan itu menjadi problem tersendiri.
Kedua, Risma kurang mendapat dukungan media. Kota Surabaya yang banyak berubah tidak terlepas dengan sikap Risma yang sering blusukan
juga, malah terjun langsung menanganinya. Namanya menyapu atau
membersihkan selokan adalah hal yang biasa. Namun aksi luar biasa Risma
ini banyak luput dari sorotan media massa baik cetak ataupun televisi (main stream)
dan media sosial (maya). Dengan minimnya sorotan ini membuat fungsi
kontrol sosial media menjadi kurang efektif, terutama membantu atau
mendorong program Risma dalam memberesi peliknya permasalahan.
Dukungan media massa
sangat diperlukan setidaknya dapat membentuk opini yang baik kepada
masyarakat. Seperti langkah Risma yang akan menghapus lokalisasi, atau
pun membereskan kebun binatang, media kurang memberikan dukungan penuh
paling tidak memberikan informasi yang berimbang. Langkah Risma memang
belum berhasil 100%, namun kekurangan Risma ini perlu diberi informasi
yang pas mengenai kendala dan tantangan yang harus dihadapinya, terutama
dengan “tangan-tangan” besar itu. Sehingga publik bisa mengetahui dan
paham akan masalah sesungguhnya.
Ini berbeda dengan Jokowi. Walaupun banjir dan macet masih ada. Dengan pemberitaan Jokowi yang massif di berbagai hal di
media massa maka membuat publik akan paham apa yang dilakukan Jokowi
itu. Bahwa bebereskan sesuatu yang besar tidaklah mudah banyak hal yang
harus dihadapi. Publik akan tahu masalah yang sebenarnya, dan akan
memaklumi terhadap segala langkah yang dilakukan Jokowi. Dengan
pemberitaan yang objektif itu sangat meringankan beban Jokowi terutama
untuk mengurangi kritik dari lawan politiknya. Memberikan kritik tanpa
dasar tentu akan merugikan pengkritiknya karena akan menjadi
bulan-bulanan masyarakat.
Ketiga, Risma kurang dukungan warga.
Jika dibandingkan dengan Jokowi yang cukup mendapat dukungan penuh dari
warga DKI baik secara langsung maupun di media sosial. Ketika Jokowi blusukan warga akan menyambut dengan antusias. Apalagi warga sudah melek informasi dan familiar
dengan perangkatnya, mereka akan memberikan tanggapan yang positif baik
status, komentar, atau foto di akun pribadinya. Menjadi media darling membuat Jokowi terangkat motivasinya karena mendapat dukungan publik.
Selain itu Jokowi juga
mendapat dukungan dari warga bila ada yang mengkritik dirinya. Warga
akan marah kepada pengrikritiknya, yang itu ditumpahkan di media sosial.
Kecintaan warga yang begitu tinggi ini tentu mengangkat
moral Jokowi, bahkan dapat mendongkrak citranya dalam pentas nasional
untuk diusung menjadi calon presiden.
Berbeda dengan Risma, tidak dukungan warga Surabaya tidak begitu heboh seperti warga DKI terhadap Jokowi. Ketika
Risma yang kerap mengatur lalu-lintas ataupun menyapu jalan, bagi warga
Surabaya seperti dianggap biasa saja, bukan sesuatu yang wah. Berbeda
dengan Jokowi segala aktifitasnya akan mendapat perhatian warga, dan
tidak lupa untuk mengunggahnya. Dukungan warga di media
sosial sebenarnya cukup efektif juga untuk menggalang opini, terutama
untuk menghadang lawan dari Risma. Minimnya dukungan moral semacam ini
membuat pengritik dan “lawan” Risma dapat berbuat agak leluasa karena
tidak mendapat sanggahan keras dari warga.
Akibatnya dalam
menjalankan kebijakan Risma kerap kali “diganggu” hal-hal demikian yang
kadang kala bukan hal yang subtansial. “Gangguan” dapat dari internal
PDI-P, anggota DPRD, serta pada pemodal besar yang mempunyai agenda
tersendiri. Risma seperti berjuang seorang diri (single fighter) dalam menghadapi semua tantangan. Dan wajar pula bila –ada rumor- bahwa Risma akan mengundurkan diri.
Kita berharap bahwa
Risma dapat menghadapi beban berat itu dengan baik. Dan semoga pula
Risma tidak menyerah apalagi sampai mengundurkan diri. Warga Surabaya
masih membutuhkannya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus
diselesaikannya. Mudah-mudahan pasca
curhat sang walikota di Mata Najwa ini,
Risma akan mendapat dukungan seperti Jokowi, terutama dari masyarakat luas.
Keberadaan
Risma masih diperlukan untuk menjadi teladan bagi semua. Terutama bagi
para pemegang amanah, untuk mencontoh bagaimana seharusnya pemimpin itu
bekerja.
Sepi ing pamrih rame ing gawe.
http://sosok.kompasiana.com/2014/02/15/beban-risma-memang-lebih-berat-daripada-jokowi-632093.html