INILAH.COM, Jakarta - Penggunaan hasil perhitungan kerugian
negara dan pemanggilan keterangan ahli dari Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) dalam persidangan kasus kerjasama penyelenggaraan
frekuensi antara PT Indosat Tbk dan anak usahanya PT Indosat Mega Media
(IM2) yang saat ini sedang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) dinilai cacat hukum.Langkah itu
menjadi pertanyaan besar jika tetap dihadirkan dalam perkara IM2 yang
dituduh merugikan negara sebesar Rp1,3 triliun.
''Itu tidak bisa.
Keterangan ahli dari pihak BPKP itu sebagai ahli di bidang apa? Kalau
di luar bidang akuntan, maka (keterangan ahli) itu akan dipanggil
sebagai apa?'' tanya guru besar ilmu hukum pidana Universitas Trisakti,
Andi Hamzah, Selasa (9/4/2013).
Penegasan Andi disampaikan
terkait rencana pemanggilan saksi ahli dari BPKP pada persidangan
lanjutan Indosat-IM2 di Pengadilan Tipikor, Kamis (11/4/2013) mendatang.
Kehadiran
saksi ahli dan penggunaan hasil perhitungan adanya kerugian negara
dalam kasus IM2 oleh BPKP, sebagai pelanggaran hukum. Sebab, hasil
perhitungan BPKP dalam kasus IM2 telah batal demi hukum.
Hal ini
sesuai dengan putusan sela Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) yang diketuai oleh H. Bambang Heryanto, pada 7 Februari 2013,
yang memutuskan untuk menunda pelaksanaan keputusan BPKP atas kasus IM2.
Dalam perkara IM2, BPKP mengeluarkan pernyataan adanya kerugian negara
senilai Rp1,3 triliun.
Indar Atmanto, PT Indosat Tbk dan IM2
menggugat ke PTUN atas keputusan BPKP yang terdiri dari (i) surat yang
ditandatangani Deputy Kepala BPKP Bidang Investigasi No.
SR-1024/D6/01/2012 tanggal 09 Nopember 2012 perihal laporan hasil audit
dalam rangka perhitungan kerugian negara atas dugaan tindak pidana
korupsi dalam pembangunan jaringan frekuensi radio 2.1 GHz / 3G oleh PT.
Indosat Tbk. dan IM, dan (ii) Laporan Hasil Audit Tim BPKP atas
perhitungan kerugian keuangan negara dalam perkara dugaan tindak pidana
korupsi penggunaan jaringan frekuensi 2,1 GHz /Generasi 3 (3G) oleh PT
Indosat Tbk. dan IM2 tanggal 31 Oktober 2012. Dalam surat tersebut BPKP
menyatakan bahwa negara telah dirugikan sebesar Rp1,3 Triliun.
Penundaan
pelaksaan keputusan BPKP tersebut di atas berlaku selama perkara
berjalan hingga diperoleh keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap.
Karenanya, dengan adanya putusan sela PTUN tersebut,
penggunaan laporan BPKP sebelum adanya keputusan hukum yang pasti,
merupakan pelanggaran hukum.
Majelis hakim PTUN di dalam
pertimbangan penetapannya, antara lain memperhatikan dengan sangat
seksama surat - surat yang disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan
Informatika (Menkominfo) kepada Kejaksaan Agung RI dan Join Statement
yang dikeluarkan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) serta
opini yang berkembang di dalam masyarakat melalui media - media cetak
dan elektronika /media online, yang dengan tegas mengatakan bahwa tidak
ada satu ketentuan pun yang dilanggar di dalam pelaksanaan kerjasama
antara IM2 dan Indosat.
Dalam kesempatan berbeda, Erick S Paat,
kuasa hukum Indar Atmanto di PTUN menambahkan, laporan BPKP yang
menyebut adanya kerugian negara hingga Rp1,3 triliun dari kerjasama
Indosat dan IM2, merupakan alat bukti paling pokok yang digunakan
Kejaksaan Agung untuk memidanakan dua perusahaan tersebut beserta dua
mantan dirutnya (JSS dan IA) di kasus penyalahgunaan frekuensi 3G.
"Maka
dengan adanya penetapan PTUN ini maka alat bukti tersebut (laporan
BPKP) otomatis lumpuh. Jadi dengan ini, jaksa lebih baik introspeksi
lagi kasus inilah dengan mendengarkan Menkominfo sebagai pengawas dan
BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) sebagai regulator," kata
Eric. [gus]