Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan
kedudukan tersebut. Salah satu diantaranya adalah kedangkalan
pengetahuan Agama, sehingga tidak jarang agama Islam diatasnamakan untuk
pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan.
Pandangan Islam Menyangkut Wanita dari Hak-haknya dalam berbagai bidang.
Secara umum surah An-Nisa ayat 32 menunjuk kepada hak-hak perempuan ;
“bagi lelaki hak (bagian)dari apa yang di anugerahkan kepadanya
dan bagi perempuan hak (bagian) dari apa yang di anugerahkan kepadanya”
Berikut ini beberapa hak wanita dalam berbagai bidang;
Hak-hak wanita dalam politik
Ayat yang mengatur hak wanita dalam berpolitik salah satunya dalam surat At-Taubah:71
“dan orang-orang yang beriman,lelaki dan perempuan sebagian
mereka adalah awliya’ bagi sebagaian yang lain.mereka menyuruh untuk
mengerjakan yang ma’ruf,mencegah yang munkar,mendirikan
sholat,menunaikan zakat,dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya
mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.Sesungguhnya Allah maha perkasa
lagi Maha Bijaksana.”
Kata awliya’, dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan
penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh “menyuruh mengerjakan
yang ma’ruf” mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan,
termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa.
Kepentingan kaum Muslim mencakup banyak sisi yang dapat menyempit
atau meluas sesuai dengan latar belakang pendidikan seseorang, tingkat
pendidikannya. Dengan demikian, kalimat ini mencakup segala bidang
kehidupan termasuk bidang kehidupan politik, sosial maupun ekonomi.
Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan)
untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu
melakukannya.
Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS 42:38).
Ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan
adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan. Al-Quran juga
menguraikan permintaan para perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan
bay’at(janji setia kepada Nabi dan ajarannya), seperti para laki-laki
sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Mumtahanah ayat 12.
Bai’at disebutkan para ulama sebagai bukti para wanita mempunyai
kebebasan untuk memilih segala pilihan yang terkait dengan kehidupan
mereka dan hak mereka.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita
yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu Hani misalnya,
dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad saw. ketika memberi jaminan
keamanan kepada beberapa orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah
satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri,
yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan ‘Ali bin Abi
Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara. Peperangan itu
dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Jamal (656 M).
Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan
kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama
para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan
dalam politik praktis sekalipun.
Hak-hak perempuan dalam memilih pekerjaan
Jika menelaah keterlibatan wanita dalam pekerjaan, Islam membolehkan
para wanita bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar
rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga
pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam
suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya,
serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan
tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi
cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung
dalam peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama
seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu
Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang
terlibat dalam peperangan.
Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam
berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin,
seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias, antara lain, Shafiyah bin
Huyay196 –istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat atau
bidan, dan sebagainya.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap
orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan
menduduki jabatan-jabatan tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh
sebagian ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum wanita, yaitu
jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-’Uzhma) dan Hakim. Namun,
perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan
tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan sebagai
hakim.
Hak dan Kewajiban BelajarTerlalu banyak ayat
Al-Quran yang berbicara tentang perintah dan kewajiban untuk belajar.
Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar,
Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan… Keistimewaan
manusia yang menjadikan para malaikat diperintahkan sujud kepadanya
adalah karena makhluk ini memiliki pengetahuan (QS 2:31-34).
Menuntut ilmu adalah kewajiban semua muslim dan muslimah. Para wanita
telah menyadari kewajiban tersebut dengan meminta kepada Nabi untuk
menyisihkan waktu untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hal ini tentu saja
dikabulkan oleh Nabi saw.
Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh
lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah seorang yang sangat dalam
pengetahuannya serta dikenal pula sebagai kritikus. Kemudian contoh
wanita-wanita yang mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat terhormat
adalah Al-Khansa’, Rabi’ah Al-Adawiyah, dan masih banyak yang lainnya.
Wanita yang menuntut ilmu bukan hanya bagi wanita yang merdeka. Para
budak dan para wanita yang mempunyai status sosial yang rendah pun
memeiliki hak untuk menuntut ilmu. Bahkan banyak yang menjadi
cendikiawati.
Dalam Islam sendiri, wanita yang baik adalah wanita yang mampu
mengoptimalkan kehidupannya sendiri sesuai dengan ajaran yang ada di Al
Quran dan Hadist, menjalankan hak dan kewajibannya, baik sebagai hamba
Allah, seorang istri dan seorang ibu bagi anak-anaknya.
Maka dari itu, di zaman sekarang ini kita sebagai umat agama Islam,
tidak boleh membedakan hak dan kewajiban para wanita dengan pria. Karena
di dalam Al Quran, yang dijadikan pedoman bagi umat Islam tertuliskan
sabda Allah SWT bahwa pria dan wanita itu diciptakan dengan hak dan
kewajiban yang sama.
Dalam hal ini, Allah telah menetapkan rambu-rambu bagi perempuan
dalam beraktivitas politik. Islam telah memberikan batasan dengan jelas
dan tuntas mengenai aktivitas politik perempuan. Diantaranya:
a. Hak dan kewajiban Baiat.
Pada masa ini, perempuan diharapkan bangkit dari berbagai problem
yang selama ini menyelimuti mereka. Seperti adanya diskriminasi,
kekerasan, pelecehan seksual, kemiskinan, dll. Sistem demokrasi
memandang, bahwa permasalahan ini hanya dapat diselesaikan dengan
keterlibatan perempuan dalam politik praktis. Seperti menjadi aleg,
menteri atau bahkan presiden. Lantas, bagaimana sejatinya peran politik
perempuan Ummu Athiyah berkata:”Kami berbaiat kepada Rasulullah SAW lalu
beliau membacakan kepada kami agar jangan menyekutukan Allah dengan
sesuatu apapun dan melarang kami untuk niyahah (meratapi mayat). Karena
itulah salah seorang perempuan dari kami menarik tangannya (dari
berjabat tangan), lalu ia berkata
,”Seseorang telah membuatku bahagia
dan aku ingin membalas jasanya.”Rasulullah tidak berkata apa-apa, lalu
perempuan itu pergi kemudian kembali lagi.” (HR. Bukhari). Ini
memberikan penjelasan kepada kita semua bahwa di hadapan Rasulullah kaum
perempuan tersebut membaiat beliau dan rasullah pun menerima baiat
mereka.
b. Hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat.
Perlu dijelaskan, bahwa Majelis Umat adalah suatu
badan negara Islam yang terdiri atas wakil-wakil rakyat yang bertugas
memberikan nasihat dari umat kepada khalifah, mengajukan apa saja yang
dibutuhkan rakyat dan memberikan saran bagaimana kebutuhan rakyat
tersebut terpenuhi, mengoreksi dan menasehati penguasa apabila cara yang
ditetapkan oleh khalifah bertentangan dengan apa yang ditetapkan
Allah dan Rasul-Nya
c. Kewajiban menasehati dan mengoreksi penguasa.
Nasihat tersebut bisa langsung disampaikan kepada penguasa atau melalui majelis umat atau melalui partai.
d. Kewajiban menjadi anggota partai politik.
Keberadaan partai politik merupakan pemenuhan kewajiban dari Allah
SWT, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Ali-Imran ayat 104 yang
artinya
:”Hendaklah (wajib) ada segolongan umat yang menyerukan
kepada kebaikan (Islam); memerintahkan kemakrufan dan mencegah
kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Partai politik ada untuk menjaga agar semua hukum-hukum Allah tetap
diterapkan secara keseluruhan oleh manusia dalam kehidupannya sepanjang
masa. Keberadaannya wajib bagi kaum muslimin, baik di dunia ini
diterapkan sistem Islam atau tidak. Jika sistem Islam telah tegak,
menjadi bagian dari parpol Islam adalah fardu kifayah, sedangkan jika
belum ada, maka hukumnya menjadi wajib bagi seluruh kaum
muslimin-termasuk para muslimah-untuk menegakkan Syariat Islam bersama
sebuah partai
.
WANITA DAN POLITIK DALAM FIQH KONTEMPORER
Para ulama terdahulu berbeda pendapat masalah peranan wanita dalam
jabatan peradilan dan politik. Namun beberapa ulama justru
memperbolehkannya. Hal ini dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al Qaradhawy :
“Abu Hanifah memperbolehkannya jabatan peradilan dan politik bagi
kaum perempuan dalam kesaksian yang dibenarkan syariat, yakni tidak
menangani kasus-kasus kriminalitas. Sedang Imam Thabari dan Ibnu Hazm
memperbolehkan perempuan menempati jabatan itu untuk berbagai kasus baik
masalah harta, krimintalitas, maupun yang lainnya.
Kebolehannya ini tidak berarti wajib atau harus namun dilihat aspek
kemaslahatannya bagi perempuan itu sendiri dan kemaslahatan bagi
keluarga, masyarakat, dan Islam. Boleh sebuah kondisi menuntut
diangkatnya sebagian perempuan tertentu pada usia tertentu dan pada
kondisi-kondisi tertentu pula.
Perempuan dilarang menjadi Presiden atau sejenisnya karena perempuan –
galibnya- tidak tahan menghadapi konflik, yang biasanya akan menjadi
risiko pada jabatan ini. Saya katakan “galibnya”, karena ada saja
perempuan yang justru lebih mampu dari pada lak-laki seperti Ratu Saba’
yang telah diceritakan dalam Al-Quran. Tetapi hukum tidak bisa
berdasarkan pada kekecualian yang langka, melainkan harus berdasarkan
pada sesuatu yang lazun berlaku. Oleh karena itu, ulama mengatakan “Yang
Jarang Terjadi itu tidak bisa menjadi landasan hukum (
an-naadir la hukma lah).”
Mengenai keterlibatan wanita dalam perlemen Dr.Yusuf Qaradhawy dalam
Fatwa Kontemporer-nya mengaitkan fatwanya dengan fungsi pengawasan
pemerintah dan Pembuatan undang-undang. Bila dikaitkan dengan
pengawasan, ia mengambil sebuah riwayat dimana seorang wanita dapat
menatahkan gagasan Umar di dalam masjid, lalu Umar menarik pendapatnya
dan menerima pendapat wanita itu seraya berkata “Wanita itu benar dan
Umar Keliru”. Dan beberapa contoh lain yang semisal. Beliau mengatakan :
“Selama masih menjadi hak wanita untuk memberi nasihat dan pandangan
yang benar menurut pendapatnya serta menyuruh mengerjakan yang ma’ruf
dan mencegah yang munkar sertamengatakan “ini benar dan ini salah “
–dalam kapasitasnya sebagai pribdi – maka tidak terdapat dalil syara’
yang melarangnya menjadi anggota parlemen untuk melaksanakan tugas-tugas
ini.”
Dalam permasalahan membuat undang-undang bagi dewan, Dr Yusuf
Qardhawy justru mengatakan ijtihad dalam syariat islam itu senantiasa
terbuka pintunya bagi laki-laki dan perempuan, maka dari itu perempuan
pun bisa terlibat dalam hal ini. Beliau mengambil contoh Ummul Mu’minin
Aisyah yang termasuk mujtahid dan mufti wanita dari kalangan sahabat,
dimana beliau sering melakukan diskusi dan sanggahan terhadap sebagian
sahabat sebagaimana yang direkam dalam kitab-kitab terkenal. Atau contoh
lain yang beliau ambil adalah bagaimana kaum perempuan menginspirasi
Umar untuk membuat ketentuan tentang tidak bolehnya suami yang menjadi
tentara meninggalkan istri lebih dari enam bulan.
Dilihat dari pertimbangan di atas jelaslah bahwa wanita dapat
saja berperan dalam bidang politik, baik dalam jabatan eksekutif,
legistlatif, maupun yudikatif. Terutama bila ditemukan memang tidak ada
laki-laki yang dapat menggantikannya. Kecuali pada kedudukan
imamah uzhma seperti khalifah, atau presiden, dan sejenisnya.
Namun demikian ada beberapa hal yang harus dijaga oleh setiap
perempuan ketika memasuki amanah di ranah publik / politik yang rentan
akan terjadinya fitnah, hal ini terkait dengan betapa mulianya dan
pentingnya kedudukan mereka bagi orang-orang tertentu seperti anak dan
suaminya, begitu pula untuk menjaga kebaikan bagi diri mereka sendiri.
Beberapa hal yang harus dijaga ialah :
Menjaga Fitrah dan tugas asasinya sebagai ibu rumah tangga demi
mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Menjaga adab-adab
islami seperti
- Ghodhdhul Bashar (Menundukkan Pandangan)
- Komitmen dengan pakaian syar’i (menutup aurat)
- Komitmen dengan adab-adab komunikasi khususnya antara ikhwan dan akhwat.
- Mengutamakan sifat malu yang dianjurkan dalam Islam
- Menghindari terjadinya khalwat
- hendaknya liqo (pertemuan) yang dilakukan sebatas kebutuhan dan tidak mengundang fitnah serta tidak mengabaikan tugas asasinya.
KESIMPULAN
Islam adalah agama paripurna ( QS. Al Maidah ayat 3 ) yang telah
menentukan seluruh peraturan kehidupan secara global maupun rinci. Tak
ada satu pun persoalan kehidupan yang tidak dijelaskan oleh Islam. Allah
SWT menurunkan Al Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu ( QS. An Nahl
ayat 89 ). Dinul Islam juga memiliki dalil-dalil syara’ yaitu Al Qur’an
dan Sunnah, Ijma’ dan Qiyas yang merupakan sumber hukum yang dapat
digali setiap saat untuk menghadapi problem baru yang dihadapi secara
global jawabannya telah ada dalam dalil-dalil syara’ itu, sehingga kaum
muslimin dari masa ke masa tak pernah lepas dari syari’at Islam dalam
bersikap dan menghukumi berbagai peristiwa yang mereka hadapi. Diantara
perkara yang dijelaskan oleh syari’ah Islam adalah mengenai Peran
Politik Wanita Dalam Islam.
Dilihat dari pertimbangan di atas jelaslah bahwa wanita dapat saja
berperan dalam bidang politik, baik dalam jabatan eksekutif,
legistlatif, maupun yudikatif. Terutama bila ditemukan memang tidak ada
laki-laki yang dapat menggantikannya. Kecuali pada kedudukan
imamah uzhma seperti khalifah, atau presiden, dan sejenisnya.
Apabila seorang muslimah ingin menjadi partisipan yang aktif dalam
perpolitikan, setidaknya ada dua tempat untuk menampung keinginan para
muslimah tersebut. Pertama adalah partai politik dan organisasi
kemasyarakatan. Ketika muslimah berada di partai politik atau memutuskan
menjadi politisi adalah pilihan yang bijaksana. Akan tetapi ia harus
menjaga fitrah, nilai-nilai islam dan tugas asasinya sebagai ibu rumah
tangga demi mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah
SARAN
Ketika seorang muslimah telah memutuskan untuk menjadi seorang
politisi berarti dapat dikatakan manejemen waktu muslimah tersebut
harus sudah rapi. Karena dia bisa membagi waktu antara keluarga dan
politik. Berbicara tentang partisipasi politik wanita, dalam hal ini
seorang muslimah, dalam kancah perpolitikan tentunya harus disesuaikan
dengan kaidah – kaidah syar’i dan teladan yang diberikan oleh
shahabiyah. Dan bagi seorang muslimah, kewajiban sebagai seorang
politisi bukan hanya sekadar, bekerja untuk negara saja, tetapi untuk
amar ma’ruf nahi munkar. Karena
amar ma’ruf nahi munkar pada
dasarnya adalah salah satu karakter atau kepribadian dasar yang
dimiliki seorang muslim. Pada dasarnya apabila seorang muslimah berada
di kelompok masyarakat, sama halnya ketika seorang muslimah berada di
partai politik. Hanya bedanya adalah orientasi, cara kerja dan
kepentingan.
Demikianlah makalah ini dibuat sebagai bahan rujukan bagi mereka yang
ingin berkontribusi dalam politik Islam, penulis menyadari makalah ini
masih memiliki banyak kekurangan sehingga perlu diberikan kritik dan
saran yang membangun agar makalah ini menjadi jauh lebih baik.
Kutipan : http://ibutina.com/muslimah/pandangan-islam-mengenai-wanita/