Setidaknya 2.014
orang terbunuh dalam perang saudara di Suriah sejak bulan Ramadhan
dimulai 10 Juli lalu, demikian perhitungan organisasi Syrian Observatory
for Human Rights yang disampaikan pada Kamis.
Selama bulan Ramadhan sebanyak 639 warga sipil--termasuk di
antaranya 105 anak-anak dan 99 perempuan--terbunuh, kata direktur Syrian
Observatory for Human Rights Rami Abdul Rahman kepada AFP.
Selain itu, Syrian Observatory juga menemukan 52 mayat yang tidak teridentifikasi.
Di sisi lain, lebih dari 1.323 di antaranya adalah anggota pasukan pro rezim Bashar al Assad dan kelompok gerilyawan.
Jumlah korban dari kalangan bersenjata, baik yang pro maupun
anti-rezim, telah meningkat dengan tajam "karena intensitas pertempuran
juga naik," kata direktur Syrian Observatory for Human Rights Rami Abdul
Rahman kepada AFP.
Jumlah sebenarnya menurut Rahman jauh lebih tinggi karena
masing-masing kubu selama ini merahasiakan angka kematian dari pihaknya.
Dari kubu pro-rezim, sebanyak 438 tentara tewas sementara jumlah
korban dari pihak gerilyawan adalah 545 warga sipil yang bergabung
dengan kelompok revolusi, 30 mantan anggota pasukan pemerintah, dan 241
pejuang yang berasal dari luar Suriah.
Menurut Abdul Rahman, terdapat tiga alasan mengapa angka kematian
dari pejuang kedua belah pihak meningkat dengan tajam dalam beberapa
hari terakhir.
"Pertama, ada aliran senjata-senjata baru yang dikirim ke kubu
gerilyawan. Kedua, rezim Bashar meningkatkan intensitas serangan," kata
dia.
Sementara penyebab terakhir menurut Abdul Rahman adalah karena
perpecahan di kubu pemberontak, antara jihadis dan suku Kurdi, juga
menyumbang angka kematian yang tinggi.
Syrian Observatory memperhitungkan bahwa lebih dari 100.000 orang
terbunuh selama dua tahun perang bersaudara yang dimulai oleh
demonstrasi melawan Presiden Bashar Maret 2011 lalu.
Jumlah tersebut sama dengan perhitungan dari PBB yang diungkapkan
pada hari yang sama. Organisasi dunia tersebut bahkan memperkirakan
bahwa sekitar 5.000 orang tewas setiap bulannya di Suriah.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat John Kerry mengatakan bahwa tidak ada solusi militer atas
konflik yang sudah berlangsung semala 28 bulan itu.