Pada hari Sabtu (23/10/10), para
pengguna Twitter di tanah air dikejutkan oleh sebuah pesan yang berasal
dari akun Guntur Romli, salah seorang pendukung gerakan Islam liberal
di Indonesia. Dalam
tweet-nya, Guntur mengatakan bahwa masyarakat itu semakin sekuler makin baik, semakin beragama malah makin munafik.
Kita telah terbiasa dengan sentilan-sentilan ‘nakal’ ala orang-orang JIL, wa bil khushush
Guntur Romli. Akan tetapi, pernyataan yang satu ini tak pelak lagi
membuat banyak orang bertanya-tanya. Sebab, setiap orang yang telah
belajar agama Islam di SD pasti sudah tahu definisi munafik yang
sebenarnya, yaitu pura-pura beriman. Menurut penjelasan dari hadits,
kita jumpai beberapa ciri bagi orang-orang munafik, yaitu: (1) bila
berkata ia dusta, (2) bila berjanji ia ingkar, (3) bila diberi amanah ia
berkhianat. Dalam hadits lain kita jumpai ciri keempat, yaitu bila berselisih ia licik. Jika keempatnya terpenuhi, munafiklah ia.
Jelas, Guntur tidak menggunakan definisi yang diberikan oleh Al-Qur’an
dan Al-Hadits untuk kata “munafik” yang dipergunakannya. Karena ia
menyimpulkan bahwa “makin beragama = makin munafik”, maka kita pun perlu
mempertanyakan ‘agama’ macam apakah yang tengah ia bicarakan? Jelas,
keempat ciri orang munafik yang telah dijelaskan di atas bukanlah ciri
seseorang yang taat beragama. Karena kemunafikan justru dianggap
ekivalen dengan agama, maka bisa kita katakan pula bahwa Guntur telah
menawarkan definisi lain tentang agama, atau bahkan ia telah
‘menciptakan’ sebuah agama baru. Dengan demikian, mulai sekarang
bolehlah kita menyebut orang-orang semacam ini sebagai penganut ‘agama
liberal’, sehingga liberalisme tak usah dikait-kaitkan lagi dengan
Islam.
Istilah “agama” (“religion”) memang telah menjadi masalah
tersendiri dalam wacana pemikiran di Barat, tempat agama liberal
berkiblat. Wilfred Cantwell Smith, misalnya, mengatakan bahwa istilah
“agama” terlalu susah untuk didefinisikan, dan karenanya, tak perlu
digunakan lagi. Menurut Smith, Kristen (Christianity) tak bisa didefinisikan, demikian juga Hindu (Hinduism) dan agama-agama lainnya. Jadi, agama itu sendiri problematis.
Masalah bersumber pada peradaban Kristen-Barat sendiri yang telah
membiarkan agama-agama bebas berkembang dan berubah bentuk sesuai
keinginan para penganutnya. Dahulu, yang disebut Kristen adalah agama
yang mengikuti ajaran Yesus, sebelum akhirnya Gereja Timur dan Barat
berpisah jalan. Kristen di Barat tadinya dipimpin oleh komando Paus,
sebelum akhirnya muncul Protestanisme. Apakah trinitas adalah doktrin
utama yang disepakati oleh semua aliran Kristen? Tidak juga, sebab
sekarang ada unitarianisme, aliran Kristen yang tidak mengakui
trinitas. Dengan demikian, batasan agama Kristen memang menjadi rancu,
bisa berubah sesuai jaman. Inilah fakta yang terjadi di Barat, yang
membuat orang-orang seperti Wilfred Cantwell Smith kebingungan.
Pengikutnya, misalnya John Hick, juga kebingungan. Menurut doktrin
Kristen, di akhir jaman seluruh manusia akan memeluk agama Kristen.
Akan tetapi, Hick melihat perkembangan agama Kristen justru menurun,
sedangkan populasi para penganut agama-agama Non-Kristen justru
bertambah. Maka untuk memelihara doktrinnya, penafsirannyalah yang
diubah. Muncullah konsep ‘Kristen implisit’. Yang mereka sebut
sebagai ‘Kristen implisit’ di sini adalah ‘orang-orang yang sedang
mencari jalan menuju Kristen sejati’, atau ‘Kristen tanpa sadar’.
Jadi, orang-orang Non-Kristen dianggap sebagai mereka yang sedang
‘berproses’ menuju Kristen. Tentu saja, penafsiran seperti ini
menghilangkan sepenuhnya batas-batas kekristenan, sehingga definisinya
semakin rancu.
Kita bisa melihat pengaruh para pemikir di Barat terhadap orang-orang
liberalis di Indonesia. Islam pun dianggapnya tak punya batasan.
Maka, yang mengakui Ghulam Ahmad sebagai nabi pun hendak diakui sebagai
Islam, dan yang tidak shalat Jum’at pun maunya disebut Muslim.
Padahal, batasan Islam tertera jelas dalam syahadatain.
Mengakui Rasulullah saw. sebagai utusan Allah berimplikasi pada
pengakuan bahwa ajaran beliau itulah yang benar. Dengan kata lain,
tidak boleh membuat-buat aturan sendiri.
Setelah kita memahami bahwa orang-orang liberalis memiliki definisi
yang berbeda untuk “agama”, maka kita pun perlu memahami agama seperti
apa yang mereka tawarkan. Pertama, agama yang mereka ajarkan adalah
‘non-agama’. Agama liberal ini akan merusak dan menghambat semua
agama, karena hal tersebut adalah konsekuensi penting dari ajaran
liberalisme-sekularisme. Kedua, jika kita kombinasikan dengan
pernyataan Sumanto Al Qurtuby tempo hari,
agama liberal adalah agama yang tidak punya aturan. Menurutnya, agama
yang benar tidak mengatur soal seks, bahkan tidak mengatur manusia
harus beragama apa. Jadi, agama liberal ini adalah agama yang
anti-agama dan anti-aturan.
Dengan demikian, nama liberal pun tidak cocok lagi, karena ia tidak
membebaskan, justru melibas semua agama. Relativisme yang diusungnya
pun sudah tidak cocok lagi, karena pemaksaan terhadap relativisme
adalah absolutisme sendiri. Karena tabiatnya yang melibas agama-agama,
maka agama liberal ini juga merupakan suatu bentuk absolutisme. Jadi,
apa nama yang cocok untuk agama baru ini? Wallaahu a’lam. Sebutan “agama liberal” kita gunakan untuk identifikasi saja.
Yang jelas, berkat kejelasan sikap dari Guntur Romli, semakin lama
semakin sedikit kemunafikan di antara kita, dan yang munafik pun makin
jelas identitasnya. Bagi kita, orang Muslim, munafik itu artinya
pura-pura beriman. Pura-pura Muslim, padahal liberalis, adalah salah
satu wajah kemunafikan. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan
agama ini dengan penuh kejelasan.
http://www.islamedia.web.id/2013/08/agama-liberal.html