SBY bergelimang Tipu Mundurlah! Judul
Tulisan Iwan Piliang di Kompasiana Desember 2012.
Tulisan bung Iwan menjadi refleksi bagi saya
terkait kasus akhir akhir ini yang mendera lingkaran Istana dalam jeratan
hukum. Semakin ke belakang semakin jelas warna warninya dan apa yang sebenarnya
terjadi di negeri ini.Inikah sejatinya tabir yang di bukakan oleh Tuhan kepada
rakyat Indonesia, agar bangsa ini dipimpin kedepan oleh orang orang yang jujur
dan hanya berkorban untuk Indonesia dan rakyatnya.
Semakin hari semakin terurai sandiwara penegakkan
hukum di negeri ini melalui serangkaian pemberantasan korupsi di tangan KPK.
Mediapun harus menembus dosa dosanya atas pemberitaan yang selama ini tidak
sesuai fakta. Publik menjadi korban atas tingkah laku para penegak hukum,
penguasa dan media. Keadilan yang tertera dalam Undang Undang dan Pancasila
hanya penghias sejarah semata. Pada saat tertentu mereka mengagungkan pancasila
dengan berbagai kemuliaanya, namun di saat yang lain mereka mencampakkan nilai
nilaanya yang terkandung di dalamnya.Sungguh inilah penghianatan sesungguhnya
terhadap bangsa.
Para pemimpin yang memiliki kekuasaan dengan leluasa
mempertontonkan kejahata otak dan tanganya untuk mengeruk sepuas puasnya hakya
rakyat melalui kejahatan KORUPSI. bangsa ini seolah olah ingin dikangkangi
untuk kemakmuran sanak saudara dan rakusnya kekuasaan. Sementara rakyat di
biarkan tungkus lumus, banting tulang melawan panas, dingin dan beratnya
bekerja hanya untuk mempertahan hidup bukan menikmati hidup.
9 tahun sudah demokrasi kita nikmati, namun
sepanjang itu pula media memberitakan tentang hebatnya KPK dalam menangkap para
pelaku koruptor. Lalu mereka semua mendekam di jeruji pesakitan karena ulah
perbuatannya.Mediapun turut bangga karena oplah dan sensasi beritanya akan
banyak di baca.Namun media tidak pernah berfikir, apa akibat dari seluruh
pemberitaanya.
Kasus hukum menyelimuti kehidupan bangsa ini.
Korupsi bertopeng kekuasaan seolah tak pernah lelah untuk menguras uang negara.
Seolah ruang gerak bangsa ini sempit karena diisi kumpulan kumpulan orang orang
yang cakap berbicara, diskusi namun juga bakat korupsi. Sulit menemukan oranag
kuat, bersih dan jujur dalam raung kekuasaan. Mereka orang orang pintar,
moralis dan berdedikasi namun seketika berubah menjadi para pencuri dan
pembohong. Entah penyakit dari mana yang menghinggapi mereka semua.
Rakyat hanya di jadikan jargon pembelaan karena
miskin dan tertinggal saat pesta demokrasi dimulai. Namun rakyat tidak benjak
bahkan di injak injak haknya karena kerakusanya menikmati kekuasaan.
Seluruh kebobrokkan penguasa kini perlahan lahan
mulai terkuak karena tuhan tidak akan pernah tidur. Mereka merasa yakin Tuhan
bisa ditipu dengan ulah kejahatan hukumnya, namun akhirnya kebenaran itu muncul
dari mulut orang orang yang terdzolimi.Kekuasaan mereka membuat mereka serakah
dan sombong serta bisa melakukan apa saja. Namun mereka tidak berhitung, bahwa disuatu
saat mereka akan terjatuh dari loncatan dan akrobatnya.
Semua bermula dari SENGMEN dan BUNDA
PUTRI.
2 orang inilah yang menjadi bangkai dalam pusaran
kekuasaan yang selama ini dibungkus sangat rapi oleh mereka. Para politikus
yang pandai bersilat lidahpun berupaya untuk mengelabui publik dengan
menyembunyikan dan menampik keberadaanya. Mereka berdua adalah akar masalah
penegakkan hukum di negeri ini. Kalau boleh saya mengatakan, mereka berdualah
sebenarnya pengatur seluruh kebijakkan negeri ini. Mereka selalu ada dan andil
dalam setiap keputusan keputusan penting yang menyangkut pemerintahan. Mereka
adalah investor kemenangan Demokrat, jadi wajar jika mereka berdua punya kuasa.
Bangsa ini ternyata terkalahkan oleh prilaku
mereka berdua, sehingga seluruh proses reformasi terutama terkait penegakkan
hukum melibatkanya. Sungguh, inilah kejahatan yang terorgansir namun tak
tersentuh oleh para penegak hukum.
SBY beradu mulut dengan hanya dengan seorang LHI
hanya karena LHI sebut sebut Bunda Putri yang sebelumnya pernah juga tersebut
sosok Sengmen dalam kesaksian persidangan kasus impor daing sapi. Ini
menunjukkan, bahwa pusaran korupsi ini tidak berhenti pada LHI namun ternyata
ada orang yang lebih kuat dan punya kendali yaitu Bunda Putri yang notabene
adalah kepala rumah tangga Cikeas.
SBY menyatakan bohong kepada LHI, namun kebenaran
sudah mulai terurai siapakah yang sebenarnya berbohong?Pertanyaanya adalah
BEGITU PENTINGKAH SOSOK BUNDA PUTRI DAN SENGEMEN terhadap SBY dan masa depan
politiknya?
KPK harus mengungkap kasus ini secara gamblang,
jangaan bekukan dan menghilangkan nama nam itu dari persidangan, jika tidak
ingin dikatankan KPK merupakan ajudan kekuasaan. Jika KPK tidak tuntaskan
misteri Bunda Putri di balik pengendali impor sapi, maka tamatlah sudah
keberadaan KPK yang hanya menjadi ahli penangkap koruptor namun minim dalam
pencegahan.
Presiden SBY menyebutkan kesaksian Luthfi Hasan
Ishaaq merupakan bohong besar. Ia membantah kesaksian Luthfi Hasan Ishaaq ihwal
kedekatan dirinya dengan Bunda Putri. “Bunda Putri orang dekat dengan
SBY, 1.000 persen Luthfi bohong,” tegas SBY.
SBY melanjutkan soal informasi Bunda Putri
mengetahui reshuflle kabinet juga merupakan informasi yang bohong. Ia
menyebutkan istrinya pun, Ani Yudhoyono tidak mengetahui persoalan reshuffle
kabinet. “Dia (Bunda Putri) sangat tahu kebijakan reshuffle, 2.000
persen bohong. Apa? kalau ada reshuffle kabinet, istri saya pun tahu,
tidak semua menteri tahu. Kalau ada reshuffle yang saja ajak bicara Wapres,
seketarisnya Mensenseg,” urai Presiden SBY.
Pernyataan Luthfi Hasan Ishaaq di persidangan
Pengadilan Tipikor, menunjukkan bahwa, SBY pura-pura tidak tahu soal Bunda
Putri. “SBY berlagak pilon kata Fahri. Setiap orang yang ketemu LHI atas
namakakan SBY pasti dikonfirmasi.
Lebih lanjut Fahri menyebutkan seharusnya KPK
segera merespons setiap keterangan yang muncul di persidangan Tipikor. Menurut
dia, KPK selalu menciptakan missing link dalam berbagai kasus yang dikaitkan
dengan penguasa.
“Dalam kasus Hambalang, kesaksian Yulianis tidak
ditindaklanjuti, dalam kasus impor daging sapi soal Segman dan Bunda Putri juga
tidak ditindaklanjuti. KPK selalu potong rantai yang menghubungkan ke Istana.
Akhirnya kasihan Presiden SBY menjelaskan sendiri,” urai Fahri.
Padahal, kata Fahri, jika KPK menghadirkan
Sengman dan Bunda Putri, persoalan akan menjadi terang. Menurut dia, munculnya
dua aktor tersebut merupakan hasil sadapan percakapan. “Kenapa kalau terkait
orang-orang tertentu KPK sangat semangat kayak sampai tuntas, tapi begitu menyinggung
Istana kayaknya tidak berani untuk ditindaklanjuti?” keluh Fahri.
Kasus tersebutnya Bunda Putri dan Sengmen menjadi
cambuk bagi istana Cikeas, bahwa kebenaran dan keadilan akan selalu mencari
jalan keluarnya sendiri disaat orang orang berupaya sekuat tenaga untuk
membendungnya. Inilah skenario yang tidak sempurna yang ingin dimainkan
Demokrat untuk memukul habis lawan lawan politiknya. Saya melihat komunitas LHI
melalui PKSnya tidak bermain main main dalam ungkap nama nama tersebut karena
kebenaran dan kenyakinanya. bahkan merekapun sebenarnya siap tidak takut
penjara, fitnah dan mati untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran.
Dari awal kasus suap daging impor ini kelihatan
sangat janggal dan sangat politis. Namun KPK sedang diuji dalam penanganan kasus
ini. Siapakah sebenarnya aktor utamanya. Jika KPK tidak berani menyentuh Bunda
Putri dan Sengmen, maka semakin menyimpulkan KPK berdiri bersama penguasa bukan
keadilan dan kebenaran.
Bunda Putri, sosok perempuan yang menjadi tokoh
kunci kasus suap impor daging sapi, diduga memiliki hubungan dekat dengan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).Hubungan tersebut, terungkap dalam
persidangan terdakwa kasus suap impor daging sapi, Presiden Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq dan Ridwan.
Kita berharap agar KPK menelusuri perempuan
misterius tersebut. Sebab, sebelum muncul di persidangan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor), nama Bunda putri pastinya sudah muncul dalam Berita
Acara Pemeriksaan (BAP) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Seharusnya pembuat BAP (KPK) dan Tipikor harus
bertanggung jawab jangan hanya memproduksi satu kata (Bunda Putri) tanpa ada
proses selanjutnya.
Nama yang disebut dalam BAP maupun di persidangan
segera diusut dan diperiksa. “KPK dan Tipikor harus segera mengusut jangan
membuat fitnah.
Nama Bunda Putri yang diduga memiliki kewenangan
dalam mengatur kouta daging sapi untuk segera diproses dan jangan sampai
dihilangkan. “Selama ini, KPK dan pengadilan, jika disebut nama penting
malah coba dihilangkan dari pemeriksaan. KPK dan Tipikor harus beresin
(Bunda Putri) jangan sampai tidak jadi apa-apa.
Saatnya kredibiltas KPK dipertaruhkan
dalam penegakkan hukum di negeri ini, jika Bunda Putri dan Sengmen terbukti
aktor dari kasus ini, maka KPK telah gagal menajalankan tugas dari
majikanya.KPKpun akhirnya tersandera.KITA tunggu keberanian KPK.
Dan berikut tulisan iwan piliang | 25 December 2012
Opini: SBY Bergelimang Tipu Mundurlah! (1)
SBY saya maksudkan, Soesilo Bambang
Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, terpilih dua kali, menang pemilihan
presiden mayoritas mutlak. Kekuasaannya tinggal dua tahun lagi. Mengacu ke
judul, tak ada maksud menuding. Sejatinya tajuk ini saya angkat dari fakta,
baik saya temui sendiri maupun dari memverifikasi kalimat, pernyataan, tabiat
laku-lakon diperbuat.
Di saat awal mendirikan Partai
Demokrat, SBY telah mengawalinya dengan laku memanfaatkan sarana negara.
Tepatnya kantor Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan untuk mengadakan
rapat-rapat pembentukan partai. Setidaknya saya mendengar cerita langsung dari
Max Sopacua, mangkal sebagai wartawan TVRI di sana, kini salah satu Ketua DPP
Partai Demokrat. Ia acap menyelinap di usai jam kantor membicarakan pendirian
Partai Demokrat di fasilitas negara itu. Hal ini juga pernah diceritakan Kurdi
Mustofa, salah satu Deputi di Menkopolhukam kala itu, kini Ketua Persaudaran
Haji Indonesia.
Di ranah manapun segala sesuatu
dimulai dengan memanfaatkan segala sesuatu tidak pada porsinya mengalirkan
ketidak-baikan. Tidak maslahat. Ini sabda alam saja adanya.
Dalam perkembangan perjalan politik
SBY, sebutlah di saat kampanye presiden. Di depan Komisi Etik Komisi
Pemberantasan Korupsi, dari obrolan ringan dengan mantan salah satu Ketua KPK,
saya mendapatkan konfirmasi bahwa: KPK pernah menanyakan sumber-sumber dana
kampanye SBY. Untuk beberapa sumber dana besar, SBY selalu menyebut, “Tulis
saja dari Hamba Allah.” Giliran dicecar lagi, “Tulis dari Hamba Allah Satu, Dua
dan seterusnya.”
Bila puncak kekusaan negara
demikian, apatah pula di bawahnya?
Di perkembangan saya di medio hingga
penghujung tahun ini terlibat menyusun buku panduan pengawasan Pemilu dengan
Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) untuk Organisasi Masyarakat dan Jurnalis,
juga ikut mensosialisasikan ke-4 kota; maka saya pun menemui fakta, bahwa pada
2009 lalu, Bawaslu pernah melaporkan sumber dana kampanye SBY lumayan besar
melebihi ketentuan Undang-Undang di Bank BTPN. Apa lacur? Bawaslu melaporkan ke
polisi, pihak kepolisan kala itu jangankan memproses, menerima saja tidak.
Apakah karena polisi langsung berada di bawah presiden? Bisa jadi 2009 jabatan
kedua SBY.
Jauh sebelumnya, di masa awal
menjagokan diri menjadi Presiden, SBY pernah meminta ke rakyat, berilah dia
kesempatan menjadi presiden sekali saja. Ia pun menyebut nama Tuhan, demi Tuhan
hanya untuk sekali saja. Kenyataannya Tuhan pun sudah ditipu SBY. Dan kepada
rakyat banyak ia katakan tidak akan berdekat-dekat dengan konglomerat
hitam, nyatanya kini bukan dekat lagi tetapi lengket.
Bila diteruskan kalimat ini,
mengalirkan panjang tipu-tipu. Pada kasus korupsi Nazaruddin, di mana saya
sempat melakukan Skype ketika dia melarikan diri, yang dianggap publik
fenomenon itu. SBY ke publik mengaku tidak paham apa terjadi. Tumpahan
kesahalan seakan SBY tujukan ke pengurus partai. Padahal secara faktual, kasus
uang suap, dan uang dolar dalam amplop ditemukan di Kongres Partai Demokrat di
Bandung yang memenangkan Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum, nyata diketahui
oleh SBY. Atas pengetahuannya itu, maka SBY menyusun kabinat Partai Demokrat
dengan cara-cara akomodatif. Dan indikasi uang yang mengalir ke Kongres Partai
Demopkrat itu, sudah terang benderang berasal antara lain dari proyek
Hambalang, sebagai mana sudah berkali-kali dituturkan Nazaruddin.
Mencloknya dua orang mantan anggota
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Anas Urbaningrum dan belakangan Andi Nurpati ke
Partai Demokrat, memperkuat dugaan permainan teknologi informasi KPU. Indikasi
penggelembungan angka kemenangan SBY, seakan bukan basa-basi, ditambah fakta
adanya peristiwa lampu mati di saat perhitungan suara di Hotel Borobudur,
angka-angka kemenangan kemudian signifikan. Perihal ini sempat hendak diangkat
mantan ketua KPK Antasari Azhar, tetapi ia bernasib diprodeo.
Century, juga sebuah kebijakan yang
dihindari diakuai diketahui oleh SBY. Beragam fakta mengungkap termasuk dokumen
yang dimiliki Misbakhun, mengatakan SBY sangat tahu akan kebijakan pengambilan
langkah bailout ini. Dan karena langkah mengingkari kebenaran itu, sosok
ibu-ibu seperti Kirana, yang hanya staf biasa menupang kehidupan
keluarganya, karena suami sakit, membesarkan anak dari menjadi karyawan di
Century., kini harus mendekam 10 tahun penjara. Begitulah kememimpinan SBY
terhadap kaum ibu.
Saya pun secara tak sengaja pernah
bertanya dua hari sebelum mantan Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa
mengundurkan diri. Pertanyaan saya padanya: berapa kali selama menjadi menteri
diajak rapat empat mata oleh SBY? Di luar dugan saya sama sekali: Suharso
menjawab tidak pernah sekalipun ada rapat kordinasi empat mata bersama
presiden. Yang ada hanya rapat-rapat kabinet formal di istana negara.
Sebagai mana sebuah opini, kolom
yang normal ditulis 500 kata, hingga alinea ini sudah 677 kata. Dan panjang
lagi bisa dituliskan akan laku “tipu-tipu” SBY sebagai pribadi terlebih sebagai
presiden. Ia acap mengatakan tidak mencampuri urusan hukum. mendukung
pemberantasan korupsi, dengan paparan di atas apakah ia bisa menggigit?
Dalam perjalanan saya sebagai
citizen journalist, kebetulan Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI),
menjalin kerjasama pelatihan menulis dengan Puspen TNI, di mana saya menjadi
salah satu pengajar. Dari dialog informal dengan perwira menengah di TNI, dapat
informasi di era kinilah intelijen TNI berada di titik terlemah. Sebagai
penglima tertinggi TNI, saya menduga hal ini bukan tidak diketahui SBY, tetapi
bisa saja disengaja. SBY memberi porsi lebih ke polisi.
Memberi lebih porsi ke polisi itu,
dapat dilihat dari kerjasama Densus 88 dengan Amerika Serikat. Program dan
anggaran yang overlap dengan Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan SBY
seakan membiarkan indikasi korupsi tinggi di sana. Lebih dari itu, dari 700
mereka dianggap teroris, setidaknya sepertiga saya ragukan keterorisannya.
Mengapa saya berani mengatakan demikian, saya memiliki sumber yang kredibel di
dalam BNPT sendiri. Kalau sudah begini, suatu saat akan menjadi api dalam sekam
bagaimana indikasi laku SBY sebagai pemimpin melanggar HAM berat.
Entah pola apa yang iya terapkan
dalam kepemimpinannya, SBY tidak berpikir bagi meningkatnya kesejahteraan
rakyat. Ia cenderung hanya berpikir untuk ke atas dan di atas. Ia konsen ke
ekonomi makro dan kredit consumer, bermain aman dari berbagai Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dominan dari pajak kendaraan bermotor, ekenomi riil melempem. Pola
komunikasi Opini Kontra Opini (OKO) terus ia kembangkan, untuk mebangun citra
personalnya baik.
Barulah di era kepemimpinan SBY,
saya mendengar negara ini mengimpor Singkong. Sehingga di media sosial saya
katakan SBY sejatinya sudah dilaknat pohon singkong se Indonesia.
Tulisan ini akan bersambung ke bagian
dua. Namun sebagai penutup saya sebagai pribadi, Narliswandi Piliang, ingin
mengetuk lubuk hati SBY paling dalam, agar mundur saja sebagai presiden.
Sehingga beragam niat baik dan program kebaikan untuk bangsa ini dapat
berjalan, tidak tersandera, pemberantasan korupsi utamanya.
Opini: SBY Bergelimang Tipu Mundurlah (2)
Bagian pertama tulisan ini, telah
mendapatkan tanggapan meriah di media sosial. Bambang Walujo Wahab, di twitter
mengatakan secara terbuka, ia bisa menambahkan lebih banyak lagi urusan tipu
itu. Beberapa kawan lantas memintanya menuliskan, tapi hingga bagian dua ini
saya tulis belum terlihat jua.
Mohammad Hasin Adi, di Kompasiana,
menyarankan melakukan konperensi pers terhadap premis saya tulis. Ia katakan,
“Siapa tahu Bapak Iwan bisa jadi pahlawan. Dan mudah-mudahan tidak jadi
pecundang. ”Bagi saya menulis bukan untuk menjadi pahlawan. Bukan pula untuk
mencetak uang. Tetapi saya konsisten taat kaedah kepada ilmu yang diajarkan
dosen saya di fakultas komunikasi. Komunikasi menyampaikan pesan,
landasannya akal, budi, hati nurani. Kalau keberpihakannya, Bill Kovach dan Tom
Rosentiel di buku The Element of Journalism secara nyata dan jernih
menuliskan: hanya kebenaran untuk warga, lain tidak.
Ada juga tentu pembelaan kepada SBY.
“SBY dan Boediono mempermudah perinjinan impor alat tanam padi saya yang di
persulit oleh birokrat kementrian perdagangan. Maka di mata saya beliau berdua
adalah pemimpin yg baik dan hanya dirusak wibawanya oleh birokrat busuk, DPR
busuk dan LSM busuk, semoga kalian semua terbakar di neraka karena mempersulit
dan membohongi rakyat kecil, merongrong kekuasaan dan wibawa pemerintah yang
sah terpilih oleh rakyat,” tulis Cucun Wijaya, masih di Kompasiana.
Begitulah dinamika di media sosial.
Setiap orang dapat merespon secara interaktif setiap info kita tuliskan. Poin
utama saya selalu, perihal ini akan meningkatkan mutu peradaban jika semua
pihak terlibat di proses tanggap menanggap, tulis menulis, identitasnya jelas,
batang hidungnya nyata, sehingga komentar miring pun dapat
dipertanggung-jawabkan.
Sebagaimana saya menulis, tentulah
tidak asal njeplak. Semua saya paparkan berangkat dari sumber kredibel,
verifikasi fakta di media, serta proses perjalanan menjadi jurnalis warga, bisa
dibilang tidak singkat dengan volume tulisan dapat di-trace.
Dari semua dinamika itu, setelah dua
hari tulisan bagian pertama saya upload, saya menyimak di RCTI bahwa Abraham
Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, menyampaikan bahwa
Boediono, sebagai Wapres, sudah bisa dilengserkan DPR, karena status kasus bail
out Bank Century sudah ditingkatkan penyidikannya oleh KPK. Menjadi pertanyaan
saya mengapa Samad mendorong DPR, bukankah wewenang KPK acap dikatakan super
body? Begitu KPK menetapkan Boediono tersangka, maka seketika itu juga ia harus
lengser. Dari kenyataan ini saya melihat tarik ulur, karena secara nyata
memelorotkan kekuasaan SBY yang di tulisan 1 memang bergelimang tipu.
Melanjutkan bagian dua ini, ingin
saya ingatkan Anda. Ihwal kampanye presiden SBY di televisi pada 2009 lalu.
Anda tentu mafhum jingle Indomie. Di antara liriknya, “Dari Sabang sampai
Merauke Indomie seleraku.” Lirik asli itu telah dipelesetkan ujungnya menjadi
,”SBY pilihanku.”
Sejak jingle pelesetan itu keluar
saya tak pernah menyimak ada badan independen atau semacam Komisi Penyiaran
menegur langkah itu. Semua seakan diam seribu basa. Bila tak keliru saya seakan
bernyanyi sendiri di media sosial mengatakan bahwa Indomie telah melakukan
pelanggran etika nyata. Mengapa? Karena sebuah iklan produk, mulai dari biaya
produksinya, pembelian slot iklan media, semuanya mereka bebankan ke total
cost produksi produk. Itu artinya konsumen ikut memikul biaya. Sebuah jingle
lalu dikenal, dibiayai semua rakyat sebagai pembeli itu produk.
Eh dengan semena-mena produk itu
mengalihkan jingle top of mind itu untuk kepentingan seseorang
menjadi presiden. Saya sangat percaya di 2009 itu pastilah tidak semua pemakan
Indomie pendukung SBY. Namun khalayak semuanya seakan sudah dikooptasi
menyanyikan SBY pilihanku.
Di lain sisi perilaku kelompok usaha
Salim di era silam melakukan monopoli impor gandum. Kini walaupun dipecah-pecah
unit usahanya, tetap saja masih dalam satu atap usaha. Kapitalisasi dari
“revolusi” pangan warga ke mie instan telah membuat Indomie menjadi bagian
utama pemasukan Salim Grup. Setidaknya hingga Oktober di tahun ini saja untung
Indofood sudah mencapai Rp 14 triliun. Dengan kapitalisasi tambun, kelompok
usaha ini memang bisa saja menjadikan seseorang presiden RI, apalagi pola
politik kini segala-gala harus fulus mulus.
Kembali ke SBY, dukungan seharusnya
ia tolak, seperti pelesetan jingle Indomie tidak ber-etik itu, dia nikmati
saja. Bahkan dari informasi tim komunikasi SBY kala 2009, SBY menikmati betul.
SBY anggap sebagai kampanye signifikan memenangkannya.
Bisa Anda bayangkan sensitifitas
seorang kepala negara pilihan demikian?
Maka tidaklah salah bila kemudian
sebagai presiden SBY melakukan banyak hal kontradiktif. Sebutlah contoh ia
secara terang-gamblang mengkritik keras Foke, Mantan Gubernur DKI di forum
rapat resmi gubernur, terbuka ke media. Tetapi ia pula kemudian menjagokan Foke
kembali menjadi gubernur DKI.
Beberapa kali dalam pidatonya SBY
mengkritik ortang yang tertidur mendengar pidatonya. Bahkan kanak-kanak
tertidur pun tak lepas dari tegurannya. SBY telah menghinakan jabatan presiden
secara langusung, dengan mengkritik kanak-kanak tertidur mendengar pidatonya,
tanpa peduli ia harus instropeksi diri, kepada siapa ia berpidato, di mana,
untuk apa, premis apa pas?
Maka dalam fakta dan kenyataan
demikian, SBY pun menjadi linglung. Ia memberikan saja grasi bagi tindak
kejahatan besar di bidang narkoba. Ia memberi dua grasi atas kejahatan narkoba
di tahun ini.
Bila sudah demikian; sudah tak tahu
di mana ia berpidato sehingga anak kecilpun harus dikritik dan tak paham
narkoba adalah kejahatan amat besar, dan bangsa serta negara ini kini sudah
menjadi pasar nerkoba terbesar: SBY memang linglung. Saya tak tahu kata
apa yang harus ditujukan kepadanya selain: mundur!
Tulisan ini akan belanjut ke bagian
tiga, ihwal indikasi perannya di dalam monopoli pengadaan BBM di unit usaha
Pertamina, Petral, bersama Hatta Rajasa. Sementara, ini saya naikkan dulu. Esok
sebelum tutup tahun saya publish bagian tiga.