REPUBLIKA.CO.ID, Oleh
Nasihin MashaTiga
presiden terakhir Indonesia memiliki ciri tersendiri dalam hal
omongannya. Gus Dur disebut sebagai presiden yang doyan ngomong,
cerewet. Apa saja ia komentari. Bahkan punya hari khusus: Jumat.
Megawati dikenal irit bicara, seperti bisu. Sedangkan SBY dinilai
sebagai presiden yang suka curhat, mengeluh. Tentu saja publik memiliki
legitimasi untuk memberikan penilaian terhadap presidennya. Itu hak
mereka. Itu semacam kritik atau protes.
Tulisan ini tak hendak
mengulas tiga presiden tersebut. Tulisan ini hanya akan mengupas
presiden saat ini, yaitu SBY. Pada 20 Oktober lalu, SBY genap memerintah
selama sembilan tahun. Pada Oktober tahun depan, ia akan mengakhiri
jabatannya selaku presiden untuk periode kedua. Sesuai aturan yang
berlaku, SBY tak bisa lagi maju sebagai capres pada pemilu tahun depan.
Ia bisa maju lagi pada pemilu berikutnya ataupun berikutnya lagi.
Konstitusi kita hanya mengizinkan dua kali berturut-turut.
Dalam
sembilan tahun kepemimpinannya, SBY telah membawa Indonesia ke posisi
yang spektakuler. Saat naik menjadi presiden pada Oktober 2004, APBN
kita hanya di kisaran Rp 300 triliun. Kini, sudah lebih dari Rp 1.600
triliun. Tak lama lagi nilai APBN kita bisa mencapai Rp 2.000 triliun.
Pendapatan perkapita Indonesia juga meningkat drastis, dari kisaran
1.000 dolar AS menjadi sekitar 4.000 dolar AS. Angka pertumbuhan ekonomi
juga stabil di kisaran 5-7 persen per tahun. Sejumlah
indikator-indikator makro lainnya juga memperlihatkan kemajuan yang
berarti yang bisa dicapai SBY. Itulah yang membuat posisi Indonesia bak
gadis molek yang diminati banyak pihak.
Semua itu tak lepas dari
kepemimpinan SBY. Strateginya di bidang ekonomi dan didukung strateginya
di bidang politik telah membuat Indonesia bisa bergerak maju. Tentu
saja banyak kritik terhadap kebijakan SBY. Misalnya soal angka
kemiskinan, pengangguran, pemerataan, kedaulatan ekonomi, dan
sebagainya. Kritik yang tak kalah pedas adalah dalam hal pemberantasan
korupsi. Namun yang membuat SBY pusing adalah persoalan politik. Hal ini
akan menimpa siapa saja yang menjadi presiden Indonesia.
Ini karena tak ada partai yang bisa menguasai mayoritas mutlak di
parlemen. Walau SBY memenangkan pilpres 2009 dengan 60,8 persen dalam
satu kali putaran, tapi Partai Demokrat hanya menguasai 26,7 persen
kursi di parlemen. Hal ini membuat SBY tak aman di parlemen. Karena itu
ia merangkul banyak partai di kabinet, bahkan jika perlu semua partai
memiliki wakil di kabinet. Gerindra dan PDIP sudah coba dirangkul, namun
gagal. Hanya Hanura yang tak pernah terdengar untuk masuk kabinet.
Posisi
Demokrat yang tak bisa menguasai parlemen membuat SBY berpaling ke
publik. Itulah yang ia jaga. Tak heran jika kemudian SBY selalu menjaga
pesonanya. Walau mungkin tak secara sadar, ia selalu menjaga tingkat
popularitasnya di mata publik. Ia memperhatikan betul rating dirinya di
lembaga survei. Hal ini menimbulkan tudingan miring pada dirinya sebagai
presiden yang selalu tebar pesona dan gemar pada pencitraan. TB
Silalahi, salah satu penasihat penting SBY, bahkan mengemukakan untuk
menjaga penampilannya agar sesuai dengan karakter dasarnya, SBY menyewa
konsultan dari Inggris. Gerak tengan dan bahasa tubuh SBY menjadi ciri
khasnya saat berpidato. Bagi yang mengikuti SBY sejak di militer, tentu
tak mendapati gayanya yang seperti itu – walaupun kesantunan dan
kecerdasannya sudah melekat.
Namun kegaduhan politik tetap saja
membuat siapapun yang menjadi presiden Indonesia menghadapi tekanan yang
luar biasa. Hal ini bisa kita saksikan di awal-awal SBY menjadi
presiden. Karena itu ia selalu hati-hati dalam membuat kebijakan. Namun
kantung matanya demikian menebal dan menggantung tak lama setelah ia
menjadi presiden. Wajahnya tak sesegar di masa kampanye pada 2004.
Seperti kata Megawati, menjadi presiden itu gampang, yang susah adalah
menjadi pemimpin. Ia pernah merasakan itu dalam kepemimpinannya yang
singkat sebagai presiden. Seperti pepatah Belanda, //leiden is lijden//.
Memimpin adalah menderita. Harus mendahulukan kepentingan publik
daripada kepentingan diri dan keluarganya. Tak akan makan sebelum
seluruh rakyatnya makan. Mengorbankan seluruh kepentingan dirinya
sebelum menuntut rakyatnya berkorban. Memikul tanggung jawab lebih dulu
sebelum meminta rakyatnya bertanggung jawab. Tak menuntut hak sebelum
rakyatnya mendapatkan hak-haknya.
Tapi presiden tetaplah manusia.
Ia ingin berbagi cerita. Ia ingin melaporkan apa yang ia sudah perbuat.
Tujuannya bisa macam-macam, salah satunya agar semua bisa belajar dan
berkembang bersama. Karena itu ketika berbicara di hadapan pimpinan
media, ia mengatakan bahwa dirinya korban pers. Ketika berbicara dengan
peternak ia menyampaikan banyaknya kritik terhadap dirinya. Saat
berdialog dalam rapim Polri ia menyampaikan dirinya tak henti dihujat.
Ia juga berencana membuat buku tentang pengalamannya memimpin Indonesia,
yang oleh sebagian pihak justru disebut buku curhat. Namun SBY
mengatakan bahwa ia ingin berbagi pengalaman agar siapapun yang menjadi
pemimpin harus siap dengan segala risikonya dan menyiapkan diri tentang
hal ihwalnya.
Memang, pada akhirnya, menjadi pemimpin itu menjadi
penyendiri. Ia sendiri di puncak pohon, di puncak piramida. Tak ada
kawan, tak ada tim sukses. Butuh pribadi kuat untuk bisa melaluinya.
Karena itu, tak jarang, di balik setiap tokoh besar ada tokoh kecil yang
berfungsi menjadi tempolong dan keranjang sampah. Ini semata agar sang
pemimpin selalu tampak gagah dan kuat di hadapan publik. Menjadi
presiden itu banyak urusannya, hilang dan menyatu dengan rakyatnya. Di
sanalah integritas dan harga diri kita.