Kalau Tjokroaminoto, Soekarno, Natsir, dan Soeharto hadir menyimak
orasi ini, saya percaya tokoh-tokoh tadi akan berdiri, berteriak
“merdeka!”, atau bahkan menyerukan takbir. Atau sekadar bertepuk tangan.
Atau sekurangnya tersenyum dan mengangguk-angguk, tanda persetujuan.
Orasinya ringkas saja. Kurang dari 12 menit. Lebih singkat daripada
perjalanan KRL Bogor – Jakarta. Lebih pendek dibanding macetnya “Jalan
Casablanca” di ibukota. Tapi isinya padat. Padatnya berisi. Lebih pulen
daripada nasi beras Pandanwangi. Lebih manis daripada tebu Brastagi.
Kalimat pembukanya akrab dan romantis: “Saudara-saudaraku yang saya
cintai”. Disampaikan sebagai acara penutupan Rapimnas sebuah partai.
Sekaligus peringatan hari jadi partai tersebut.
“Tapi… sesungguhnya kita tidak sedang memperingati hari jadi sebuah
partai politik. Yang sesungguhnya kita peringati, adalah lahirnya sebuah
cita-cita, lahirnya sebuah generasi,” seru Sang Orator.
“Sebab partai politik sejatinya adalah mesin ideologi, bukan
kendaraan pribadi menuju kekuasaan,” lanjutnya lagi memberi negasi atas
perilaku politisi kebanyakan yang semata memanipulasi suara rakyat atau
mempertontonkan kesantunan semu demi pundi-pundi pribadi dan dinasti
politiknya.
Sang Orator melantangkan orasinya di Semarang, 100 tahun setelah Haji
Oemar Said Tjokroaminoto sukses besar menggelar vergadering (rapat
akbar) Sarekat Islam pertama di Surabaya. Tapi dari beberapa seri orasi
yang disampaikan, tergambar jelas apresiasinya yang luar biasa, terhadap
sosok pahlawan nasional itu. Dalam suatu kesempatan lain, dijelaskannya
peran strategis Tjokro sebagai guru bagi cikal-bakal ragam aliran
perjuangan politik di Indonesia.
“Mereka memilih hidup di Indonesia,” ujar Sang Orator ketika
membagikan imajinasinya tentang Indonesia masa depan, “karena di sini
mereka punya harapan akan kesejahteraan. Semata-mata karena mereka punya
semangat kerja. Siapapun yang ingin bekerja, siapapun yang ingin
bekerja, siapapun yang ingin bekerja… seharusnya punya tempat di negeri
ini!” seru Sang Orator di hadapan ribuan pengurus dan kader partainya,
89 tahun setelah Tjokro Sang Raja Tanpa Mahkota itu menulis buku “Islam
dan Sosialisme”.
Sang Orator baru dilahirkan 23 tahun setelah proklamasi dibacakan di
Jakarta. Ia tidak lahir di Blitar, bahkan tidak juga di Pulau Jawa,
melainkan di Celebes, tepatnya di Bone, 44 tahun lalu. Tapi demikianlah
pemikiran tersambung menyeberang jarak dan lautan, melintasi ruang dan
zaman. Intip saja ketika ia mengemasi bukunya setelah mengundurkan diri
dari Wakil Ketua DPR, karena tidak mau rangkap jabatan. Di sana ada
buku-buku karya dan buku-buku mengenai Sang Proklamator. Tak heran kalau
ia fasih mengutip dan mencerna pemikiran Putra Sang Fajar itu.
“Dahulu Soekarno pernah mempunyai ide tentang Trisakti,” kata Sang
Orator mengingatkan lagi visi Bung Karno, 49 tahun setelah Presiden
Pertama RI itu mengemukakannya dalam pidato peringatan Milad ke-19
Republik Indonesia. “Berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi,
dan berkepribadian dalam kebudayaan,” demikian Sang Orator mengutip isi
Trisakti.
Sang Orator masih belum lahir, ketika Soeharto pertama kali dilantik
jadi Presiden dan mencetuskan trilogi pembangunan. Tapi ia merasakan
bagaimana represi rezim itu, hingga kemudian Era Reformasi tiba. Ia pun
menjadi Sekjen parpol reformis.
“Yang ingin kita bangun adalah negara manusia. Manusia yang punya
hati. manusia yang punya pikiran. Karena itu kita ingin, negara ini
mengelola rakyatnya sebagai manusia. Dengan semua mimpi-mimpinya, dengan
semua harapannya. Dan memberikan apa yang mereka perlukan sebagai
manusia.
“Dan kita ingin, angka-angka statistik dalam politik, dalam ekonomi,
dan dalam budaya itu semuanya, pada akhrinya bermuara pada satu
cita-cita kemanuisaan yang besar, pada satu cita-cita kemanusiaan yang
dialami seluruh manusia, yaitu cita-cita untuk menjadi makhluk yang
bahagia di planet ini,” urai Sang Orator pada Jum’at 19 April 2013, 15
tahun setelah Reformasi bangkit, 15 tahun setelah rezim Orba tumbang,
rezim yang sempat dikenal mempopulerkan GBHN konsep yang sebenarnya
cemerlang yakni “pembangunan manusia seutuhnya”, rezim yang jatuh karena
terjerumus terlalu dalam, setelah sempat menikmati masa-masa bulan madu
di awal kehadirannya.