dakwatuna.com – London. Mohammad John Webster
dibesarkan dalam keluarga Protestan. Di usia remajanya, ia memiliki
banyak pertanyaan soal kepercayaan yang dianutnya.
“Yang menjadi
pertanyaan saya, di Inggris, banyak kemiskinan dan ketidakpuasan sosial.
Agama saya seperti tidak berusaha untuk menyelesaikannya,” kenang dia
seperti dikutip
Arabnews.com, Senin (8/4).
Sejak itu,
Webster muda tidak lagi menerima Protestan dan beralih menjadi penganut
komunis. Baginya, komunisme menciptakan kepuasan tersendiri. Tapi itu
tidak berlangsung lama. Selanjutnya, ia beralih pada filsafat dan agama.
“Dari apa yang saya alami ini mendorong saya mengidentifikasi diri dengan apa yang disebut panteisme,” katanya.
Webster
mengakui peradaban Barat membuat masyarakatnya begitu asing dengan
Islam. Ini terjadi karena sejak Perang Salib berakhir, banyak hal yang
menyimpang terkait informasi tentang Islam dan Muslim.
Satu fase
baru dalam kehidupannya dimulai ketika ia menetap di Australia. Di sana,
ia membaca Alquran di sebuah perpustakaan umum di Sydney. Saat itu,
kefanatikan Webster terhadap Islam coba ia tutupi. Padahal, ia sangat
antusias untuk mengkaji lebih dalam terkait isi Alquran. Satu hari, ia
temukan salinan Alquran terjemahan Inggris.
Pada satu surat, ia
temukan satu hal tentang kehidupan Rasulullah. Ia habiskan berjam-jam
untuk menemukan apa yang diinginkannya. Ketika keluar dari perpustakaan,
Webster merasakan kelelahan. Kebimbangan muncul dalam pemikirannya.
Hal
itu coba ia tangguhkan dengan berjalan menyusuri keramaian. Langkahnya
terhenti ketika ia melihat tulisan yang menyebut ‘Masjid’. Hatinya
bergetar seketika. Wajahnya segera memucat.
“Inilah kebenaran.
Spontan Webster mengucapkan syahadat. Tiada Tuhan selain Allah, Muhamamd
adalah utusan Allah. Alhamdulillah, aku menjadi seorang Muslim,” kata
dia yang kini menjabat Presiden The English Muslim Mission. (ags/rol)
Redaktur: Saiful Bahri