Perihal
hubungan seksual (bercinta), Rasulullah SAW memberi petunjuk yang
sangat sempurna, beralas etika dan estetika Rabbaniyah (ketuhanan).
Bercinta tidak saja untuk menyehatkan jiwa, namun juga memberi kepuasan
serta kenikmatan jiwa. Pitutur Rasulullah SAW tentang bercinta
(senggama) adalah nasehat paripurna, utamanya demi menjaga kesehatan
tubuh, mental, dan spiritual, berikut mewujudkan tujuan bersenggama itu
sendiri. Diantara tujuan hubungan seksual menurut ajaran Islam ialah:
- Melahirkan
dan menjaga kelangsungan keturunan. Dengan kelahiran putra-putri buah
senggama, nantinya diharapkan akan lahir generasi penerus bagi keluarga
dan kommunitas serta kesinambungan suatu bangsa;
- Mengeluarkan
air (sperma) berdampak positif bagi tubuh. Sebab apabila iar sperma
dibiarkan mengendap di dalm tubuh tanpa disalurkan ke ladang tempat
bercocok tanam (fitrah penyaluran), akan berdampak buruk bagi tubuh
maupun mental seseorang;
- Media
untuk menyalurkan hajat, guna merengkuh kenikmatan surga duniawi.
Bedanya, bersenggama di dunia bisa melahirkan anak, sedang di surga
keabadian tidak akan membuahkan anak, semua itu harus dilakukan dengan
cara yang benar dan baik, sesuai dengan etika dan estetika, serta aturan
luhur yang selaras dengan nilai-niilai ajaran Islam.
Etika Sebelum Bercinta
Ajaran
Islam mengajarkan etika senggama, yang harus dipahami setiap Muslim.
Ada banyak ayat al-Quaran dan Sunnah Nabi yang menuturkan masalah etika
bercinta ini. Karenanya, sebelum bercinta, setiap Muslim harus
memperhatikan etika (adab) dan prasyarat bersenggama sebagai berikut:
Pertama
Tidak
Menolak Ajakan Bercinta. Secara tabiat maupun fitrah, para lelaki lebih
agresif, tidak memiliki energi kesabaran, serta kurang bisa menahan
diri dalam urusan making love ini. Sebaliknya, para wanita cenderung
bersikap pasif, pemalu, dan kuat menahan diri. Oleh sebab itu,
diharuskan bagi wanita menerima dan mematuhi ajakan suami untuk
bercinta. Dalam sebuah hadis dituturkan, Rasulullah SAW bersabda: Jika
seorang istri dipanggil oleh suaminya karena hajat biologisnya, maka
hendaknya segera datang, meski dirinya sedang sibuk (HR Turmudzi).
Ajaran Islam tidak membenarkan perilaku para istri yang menolak ajakan
suami mereka untuk bercinta. Dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Umar,
Rasulullah SAW bersabda: Allah melaknat wanita yang menunda-nunda, yaitu
seorang istri ketika diajak suaminya ke tempat tidur, tetapi ia
berkata, ‘nanti dulu’, sehingga suaminya tidur sendirian (HR Khatib).
Dalam hadis lain dituturkan: Jika suami mengajak tidur istrinya, lalu
sang istri menolak, yang menyebabkan sang suami marah kepadanya, maka
malaikat akan melaknat istri tersebut sampai pagi tiba (HR Bukhari dan
Muslim).
Kedua
Bersih
dan Suci. Haid adalah penyakit bulanan yang tidak suci, wanita yang
sedang haid berarti tidak suci. Karenanya, para suami yang istri mereka
sedang mengalami datang bulan dilarang mensetubuhinya selama waktu haid.
Manakala darah haid sudah berhenti, maka wajib bagi wanita membersihkan
tubuhnya dengan air. Kemudian mengambil ‘secuil’ kapas atau kain, lalu
melumurinya dengan kasturi atau bahan pewangi lainnya yang beraroma
semerbak menawan, kemudian membilas bagian tubuh yang terlumuri darah
saat haid, sehingga tidak ada lagi bau tak sedap pada tubuh sang wanita.
Dalam sebuah riwayat dari Aisyah Ra dituturkan, suatu hari, ada seorang
wanita bertanya kepada Rasulullah SAW, tentang cara bersuci
(membersihkan diri) sehabis datang bulan. Rasulullah SAW bertutur kepada
wanita tersebut: Ambillah bahan pewangi dari kasturi. Bersihkan dirimu
dengannya. Wanita itu bertanya: Bagaimana caraku membersihkan tubuh?
Rasulullah SAW menjawab: Bersihkan tubuhmu dari noda haid. Wanita itu
bertanya lagi: Bagaimana caranya? Rasulullah SAW menjawab: Subhanallah,
bersihkan dirimu! Aisyah Ra melanjutkan penuturannya: Aku lantas
membisiki wanita itu, ‘Bilas tubuhmu yang terlumuri darah haidmu dengan
pewangi kasturi’ (HR Bukhari).
Allah Azza wa Jalla juga
menyatakan di dalam firman-Nya, bahwa syarat untuk melakukan hubungan
badan ialah harus dalam kondisi suci. Kesucian tubuh dari ‘penyakit’
haid adalah demi mewujudkan seks sehat, sebagaimana firman-Nya: Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah. Haid itu adalah kotoran
(penyakit). Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita
di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri
(QS. al-Baqarah/2: 222).
Rasulullah SAW juga mengingatkan kepada
para suami, agar tidak menyetubuhi istri mereka dalam keadaan nifas dan
haid. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang
bersenggama dengan wanita yang sedang haid, atau menyetubuhi wanita dari
dubur (lubang anus)-nya, atau mendatangi paranormal (ahli tenung), dan
mempercayai ramalannya, Maka sejatinya ia telah kufur (ingkar) dengan
apa-apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW (HR Abu Daud). Dalam riwayat
lain dituturkan, Rasulullah SAW bersabda: Datangilah istrimu dari arah
depan atau dari arah belakang, tetapi awas (jangan menyetubuhi) pada
dubur dan (jangan pula) dalam keadaan haid (HR Akhmad dan Tirmidzi).
Lain daripada itu, selain harus suci – tidak haid dan nifas – pasangan
Muslim harus bersih-bersih diri sebelum bercinta, agar tubuh mereka
bersih dan percintaan yang dilakukan sehat.
Ketiga
Bercinta
Sesuai Aturan Syariat. Salah satu tujuan making love (bercinta) adalah
untuk melahirkan keturunan. Dan proses kelahiran hanya terjadi manakala
terjadi pembuahan sperma laki-laki dan perempuan dalam rahim. Karenanya,
bercinta harus dilakukan dengan cara yang benar, yatitu melalui tempat
yang semustinya, bukan melalui anus (dubur) maupun lisan (oral sex) –
sebagaimana yang jamak dilakukan orang-orang yang memiliki kelainan
seksual, serta orang yang tidak paham niali-nilai agama. Lain daripada
itu, bersenggama tidak sesuai aturan sama halnya menafikan kehormatan
wanita yang disetubuhinya. Dan cara seperti itu mustahil bisa melahirkan
keturunan. Ajaran Islam memberi syarat, bahwa senggama harus
ditempatkan pada tempat yang semustinya, yaitu vagina wanita, bukan
melalui anus (dubur) atau mulut wanita (seks oral). Sebab percintaan
yang dilampiaskan pada tempat selain vagina, mustahil dapat membuahkan
keturunan. Oleh sebab itu, Allah Azza wa Jalla berfirman:
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki (QS. al-Baqarah/2: 223).
Keempat
Berhias
Diri. Diantara syarat bercinta ialah masing-masing pasangan – suami
istri – harus berhias diri untuk menyenangkan dan menggairahkan
percintaan yang hendak dilakukan. Diantara cara berhias diri dalam
bercinta adalah:
Mambagusi bagian tubuh, yang merupakan lima organ
fitrah, sebagaimana dituturkan Rasulullah SAW: Lima hal yang termasuk
fitrah (sesuci), yakni mencukur kumis, mencukur bulu ketiak, memotong
kuku, mencukur bulu kemaluan, dan khitan.
Menggunakan wewangian, yang
paling utama adalah kasturi. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa
tatkala seorang sahabat yang memberitahu Rasulullah SAW tentang adanya
seorang wanita yang memerciki cincinnya dengan kasturi, Rasulullah SAW
bersabda: Kasturi adalah sebaik-baik wewangian.
Memakai celak, dan
jenis celak terbaik ialah yang terbuat dari bahan itsmid. Abdullah bin
Abbas meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya
sebaik-baik celak kalian adalah yang terbuat dari bahan itsmid. Ia dapat
menajamkan penglihatan, serta menumbuhkan rambut. Al-Qur’an juga
mengisyaratkan anjuran berhias diri bagi kaum wanita, sebagaimana
firman-Nya: Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber-’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah
habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. (QS. al-Baqarah/2: 234)
Sayyid Qutub dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa redaksi al-Qur’an
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut adalah
bukti otentik, dibolehkannya bagi kaum wanita untuk berhias diri, hal
mana yang demikian itu dilakukan dengan tujuan agar datang lelaki
meminangnya.
Kelima
Berdoa.
Diantara etika seks dalam Islam ialah membaca doa sebelum melakukan
persetubuhan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas
dituturkan, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Jika salah seorang
diantara kalian hendak mencampuri istrinya, maka hendaknya sebelum
senggama membaca doa: Bismillah, Allahumma jannibnaa asy-syaithan, wa
jannib asy-syaithana ma ruziqnaa (Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah
jauhkanlah kami dari Setan. Dan jauhkan setan dari apa-apa yang Engkau
karuniakan kepada kami (anak keturunan). Dengan memanjatkan doa,
diharapkan anak yang lahir dari buah percintaan tidak goyah diperdaya
setan, akan tetapi serta selalu dekat kepada Allah.
Keenam
Mencari
tempat bercinta yang nyaman dan merahasiakan apa yang terjadi diantara
suami istri pada waktu bercinta. Diantara syarat bercinta dalam Islam
ialah mencari tempat yang nyaman dan merahasiakan apa yang terjadi pada
saat bercinta, baik istri maupun suami, tidak diperkenankan menceritakan
‘geliat’ percintaan yang dilakukannya kepada orang lain. Dalam sebuah
hadis riwayat Abu Said Khudri, ia menuturkan, Rasulullah SAW bersabda:
Selazimnya bagi kaum lelaki diantara kalian yang hendak memenuhi hajat
biologisnya, mencari tempat yang nayaman, jauh dari hiruk pikuk
keluarganya, dan menutup pintu rapat-rapat, serta mengenakan sehelai
kain, barulah bercinta (bersetubuh). Kemudian apabila telah selesai
bercinta, hendaknya tidak menceritakan hubungan badannya kepada orang
lain. Selazimnya bagi kaum wanita diantara kalian, yang hendak memenuhi
hajat biologis, mencari tempat yang nyaman, menutup pintu rapat-rapat,
dan mengenakan sehelai kain untuk menutup tubuhnya. Dan jika selesai
memuaskan dahaga cinta, hendaknya tidak menceritakan hubungan intimnya
kepada yang lain. Salah seorang wanita berujar: Demi Allah, wahai utusan
Allah, kebanyakan daripada kaum wanita menceritakan apa yang mereka
alami saat senggama kepada yang lain, serta jamak melakukan percintaan
di tempat terbuka. Rasulullah SAW berkata tegas. Janganlah kalian
melakukan hal seperti itu – menceritakan sesuatu saat senggama dan
bersetubuh di tempat terbuka, serta bertelanjang bulat. Sebab perbuatan
seperti itu, sama persisnya dengan perbuatan setan pria bertemu dengan
setan wanita di tengah jalan, lalu bersetubuh di tempat terbuka, setelah
setan pria selesai melampiaskan dahaga seksnya, lantas meninggalkan si
wanita begitu saja. Rasulullah SAW juga meyerukan untuk mengenakan kain
saat bercinta, sebagaimana sabdanya: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
adalah maha lembut, maha malu, maha menutup diri. Dia mencintai rasa
malu dan menutup aurat. Menutup aurat, tidak saja dalam ‘laku’ kehidupan
di ruang publik, tetapi juga saat bercinta.
Ketujuh
Tidak
bercinta saat melakukan iktikaf atau sedang dalam kondisi berihram.
Orang yang sedang menjalankan iktikaf di masjid tidak boleh bersenggama,
demikian pula orang yang sedang berihram, juga tidak boleh bercampur
dengan pasangannya, sebagaimana diwartakan al-Qur’an: Janganlah kamu
campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan
Allah, maka jangnlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa (QS. al-Baqarah/2:
187). Usman bin Affan meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah SAW bertutur:
Orang yang sedang melaksanakan ibadah Ihram tidak boleh bersenggama,
maupun menikah atau melamar (HR Muslim). Dalam riwayat Turmudzi disebut
dengan redaksi: Saat berihram dilarang bersetubuh.
Kedelapan
Tidak
bercinta dengan istri yang sedang datang bulan (haid). Ajaran Islam
melarang pasangan suami istri bercinta saat sang istri sedang datang
bulan. Sebab haid adalah penyakit, dikhawatirkan bayi yang lahir dari
buah senggama pada kondisi seperti itu akan tidak sempurna (cacat).
Allah menjelaskan dalam al-Qur’an: Mereka bertanya kepadamu tentang
haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu
mendekati mereke, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan meyukai
orang-orang yang mensucikan diri (QS. al-Baqarah/2: 222). Ajaran Islam
juga melarang suami menggauli istrinya ketika dalam keadaan nifas – usai
melahirkan. Alasannya jelas, bahwa bercinta dalam ajaran Islam adalah
termasuk laku ibadah, karenanya harus dilakukan pada waktu kondisi baik.
Kesembilan
Memperhatikan
kondisi fisik. Waktu yang paling tepat untuk melakukan hubungan badan
adalah saat kondisi fisik dalam keadaan fit (segar bugar), yakni
pencernaan makanan lancar, tensi tubuh seimbang antara panas dan dingin,
kondisi perut tidak kenyang dan tidak lapar. Sebab bersenggama dalam
keadaan tubuh tidak fit, pencernaan makanan tidak lancar, tensi tubuh
terlalu panas maupun terlalu dingin, perut terlalu lapar maupun kenyang,
akan membuat hububgan badan kehilangan maknanya, dan tidak bisa
dinikmati bahkan melahirkan madharat (mara bahaya). Bersenggama dalam
keadaan perut lapar lebih berbahaya ketimbang perut dalam keadaan
kenyang. Lain daripada itu, tidak akan bisa merengkuhi nikmat senggama,
lebih-lebih memberi kepuasan seksual kepada pasangan hidup. Rasulullah
SAW bersabda: Jika seseorang diantara kamu bersenggama dengan istrinya,
hendaklah ia lakukan dengan penuh kesungguhan. Kemudian, kalau ia telah
menyelesaikan kebutuhannya sebelum istri mendapatkan kepuasan, maka
janganlah ia buru-buru mencabut (kemaluannya), sampai istrinya menemukan
kepuasan (HR Abdul Razaq).