Dengan secara sepihak Rhoma Irama kini mengaku sudah meneken kontrak politik sebagai capres dari PKB.
Pernyataan Rhoma membuat galau internal PKB. Manuver sang ‘raja dangdut’ menggoyang partai pimpinan Muhaimin Iskandar ini.
Internal PKB dibuat sebal oleh manuver Rhoma Irama. Sejumlah elite
PKB mengeluh karena manuver Rhoma Irama tak produktif, bahkan membuat
kelas menengah kurang simpati terhadap PKB.
Padahal awalnya Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandarlah yang pertama kali
mengutarakan niat ingin mencapreskan Rhoma Irama. Kala itu PKB semangat
sekali mendorong pencapresan Rhoma, sampai Bang Haji akhirnya tak kuasa
menahan ambisi politiknya untuk konsolidasi menatap Pilpres 2014.
Menurut sejumlah sumber di internal PKB, tim sukses Rhoma Irama terus
bergerilya. Soneta Group dan penggemarnya terus bekerja di berbagai
daerah. Internal PKB mensinyalir pemasangan spanduk Rhoma dengan kuda
putih dan tulisan “Partai Ksatria Bergitar” adalah bagian dari manuver
tim sukses Rhoma.
Dugaan ini bukan pepesan kosong belaka. Rhoma terang-terangan
menyebut PKB sebagai ‘Partainya Ksatria Bergitar’ dalam kunjungan
sosialisasinya ke Bandung, Kamis (25/7) malam kemarin.
Manuver politik Rhoma yang semakin santer menjelang Pemilu 2014 tak
mau dibiarkan bergulir begitu saja oleh PKB. DPP PKB langsung
mengeluarkan pernyataan resmi menegaskan bahwa Rhoma belum berstatus
sebagai capres PKB. Sekaligus menegaskan bahwa kontrak politik yang
disebut Rhoma diteken 2 April lalu bukanlah kontrak pencapresan.
Namun Rhoma agaknya tak bisa dibendung. Apalagi internal PKB sudah
terlanjur sepakat Rhoma akan berkeliling dalam rangkaian kampanye PKB.
Tak bisa dipungkiri, popularitas Rhoma di atas angin. Mungkin merasa PKB
membutuhkannya, Rhoma tak sungkan menunggangi PKB sebagai kendaraan
menuju Pilpres 2014.
Rhoma tak bisa menutupi ambisinya, namun di berbagai survei
elektabilitas Rhoma juga belum signifikan. Sebagai gambaran, di dunia
politik popularitas terkadang tidak sejalan dengan akseptabilitas dan
elektabilitas alias tokoh tenar tidak selalu disukai dan dipilih oleh
rakyat dalam rangkaian pesta demokrasi.
“Namun dalam diskusi dengan saya, Rhoma tidak bisa membedakan
popularitas dengan elektabilitas,” kata pengamat politik UIN Jakarta Gun
Gun Heryanto