ABANG tukang bakso mari-mari sini aku mau beli. Abang tukang bakso cepatlah kemari, sudah tak tahan lagi.
Masih ingat lagu anak-anak yang dinyanyikan riang oleh Mellisa sekitar
akhir tahun 1990-an? Lagu itu mengingatkan seorang anak yang sudah
sangat ingin menikmati semangkuk bakso. Tidak pakai saos juga tidak
pakai kol, kata Mellisa.
Lantaran sudah tak tahan lagi pada sedapnya semangkok bakso, ribuan
pegiat Partai Demokrat menghendaki Susilo Bambang Yudhoyono memimpin
partai berlambang mercy itu. SBY bersedia menjadi tukang bakso bagi
pendukungnya di PD. Dan sebagimana tukang bakso, semua masalah ditangani
sendiri, sejak membeli bahan baku ke pasar, mengolah bumbu, menjual,
melayani pembeli, keliling keluar masuk kampung dan menerima pembayaran/
memberi pengembalian pembayaran semangkuk bakso.
SBY dan tukang bakso layaknya dua sisi tak terpisah. Tukang bakso dan SBY sama-sama one man show alias
kerja sendiri. Tukang bakso (biasanya penduduk Sragen, Jawa Tengah)
bekerja hanya untuk dirinya sementara SBY mengatakan bekerja untuk
rakyat, untuk Partai Demokrat yang kini semakin sekarat, dan bekerja
untuk mendongkrak kesibukan baru setelah tidak menjadi presiden lagi.
Tukang bakso berhadapan dengan pembeli dan pasar, SBY pun sama. Pembeli
dimaksud adalah pemilih pertama, dan SBY siap tidak menambahkan sambal
atau saos yang kadang disulap dari zat warna itu.
Dengan demikian SBY dan tukang bakso sama-sama berprofesi sebagai
pedagang. Yang satu berdagang untuk menghidupi keluarganya hingga harus
menjadi urban ke kota besar. Yang lain berdagang konsep demokrasi hingga
mulut berbusa, kendati ia tetap saja dianggap peragu. Tukang bakso
harus menggunakan kecap secukupnya sebagai penyedap produk jualnya, SBY
menggunakan kecap tiap saat. Namun pada prinsipnya SBY dan tukang bakso
adalah sama-sama. Sama-sama bekerja sendiri untuk sebuah perubahan.
Persoalannya adalah ketika kecap terlalu sering digunakan SBY maka
produk konsepnya tidak lebih sebagai wacana belaka. Dan akhirnya hilang
tertelan wacana baru yang sangat mungkin berasal dari para pendukung
serta pemujanya di PD. Kecap yang terlalu sering disuguhkan itu
menghilangkan selera makan, maka jualannya tidak laku.
Menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina PD, Ketua Umum PD, Presiden RI
sebenarnya SBY jauh lebih sibuk ketimbang abang tukang bakso yang
digemari anak-anak. Kesibukan yang sengaja diciptakan untuk terus
memberi citra bahwa akulah yang terbaik di partai ini, akulah penyelesai
segala masalah yang dihadapi bangsa. Hm, apa bedanya dengan Louisse XIV
di Prancis menjelang Revolusi 1789 yang lalu dengan pernyataan
bombastisnya: le tat cest moi (negara adalah aku). Partai Demokrat adalah aku. Indonesia adalah aku.
Padahal di belakang sana, penikmat bakso yang sering menyantapnya
sejak tahun 2004 beralih menjadi pelanggan bakso lain. Ada yang pindah
ke mangkuk bakso Gerindra, dan ada pula yang ganti mangkuk Hanura.
Sedangkan untuk menjadi penikmat mangkuk PDIP masih ada rasa malu karena
mangkuk merah ini dianggap tetap sebagai rival.
SBY bukan tak tahu pelanggan baksonya berkurang. Ia paham betul
hingga ia berduet dengan anaknya di jabatan sekretaris jendral adalah
untuk menarik kembali pelanggan baru dan atau pelanggan yang pindah
mangkuk itu. Namun apa boleh buat, demokrasi bakso menghendaki adanya
kepastian sikap politik, setidaknya jangan kebanyakan membubuhkan kecap
ke dalam mangkuk. Jika kecap terlalu banyak dibubuhkan maka rasa garam,
sambal, saus, daun bawang tertelan oleh kecap dan warna kuah menjadi
keruh. Alhasil, bakso sangat tidak enak untuk disantap.
Kaderisasi Gagal
Mencermati dinamika semangkuk bakso yang bernama Partai Demokrat,
dalam hal kaderisasi dan rekruitmen kepemimpinan ternyata selama ini
belum tumbuh. SBY menjadi faktor dominan yang dinilai hanyalah
satu-satunya yang mampu menjadi katup pengaman untuk menutup semua
pembelahan yang ada di tubuh partai. Daya rekat yang bergantung pada
satu figur sebenarnya berbahaya bagi kelangsungan hidup partai. Seperti
halnya kecap yang over dosis pada semangkuk bakso: Siapa yang mau
menyantapnya?
KLB yang baru lalu tampaknya manis, gembira, gempita dan menaruh
harapan agar mangkuk baksonya kembali layak jual. Padahal intinya tidak
lain ialah memperebutkan kekuasaan, termasuk di dalam internal partai
itu sendiri. Hanya saja tahun 2014 mangkuk bakso berlambang mercy ini
sepertinya semakin kosong peminat, mengingat banyak unsur pimpinannya
yang terlibat korupsi. Kendati demikian, PD sadar atas situasi yang
kurang menguntungkan ini. Maka pasca Pemilu 2014 ia akan berjejer dengan
mangkuk lain di Senayan dan menjadi kekuatan penyeimbang sebagai
prasyarat demokrasi. Bukan lagi partai pemenang pemilu tetapi masih
memiliki potensi untuk mempengaruhi jalannya poros Senayan, lantaran
kekayaan yang telah dikumpulkan dapat didayagunakan bagi kepentingan
koalisi itu kelak.
Nun jauh di sana, seorang tukang bakso sepulang blusukan keluar
masuk kampung lantas menghitung untung. Ah, adakah seperti ini pula yang
dilakukan penikmat mangkuk bakso demokrat? Penikmat mangkuk PD
ramai-ramai menanggalkan idealisme partainya lantas mengalihkannya
menjadi kepentingan pribadi. Dan atas nama partai politik, atas nama
rakyat ~mereka masih berkesempatan menuangkan kecap lain ke mangkuk yang
telah cukup lama dipeluknya.
Heboh Nazaruddin, Andi Alifian Mallarangeng, Angelina Sondakh, Anas
Urbaningrum dan seterusnya merupakan pertanda bahwa langit redup dan
berwarna kehitaman mulai menggantikan langit biru cerah sebagaimana
warna dasar partai ini. Di sisi lain partai yang keburu meroket dan
pimpinannya banyak berasal dari kubu lain biasanya mudah digoyang
prahara, lantaran ia kurang memiliki keberanian untuk senantiasa fight
membela “ideologinya”. Kemunculan yang bersinar lalu meroket bak bintang
di langit akhirnya harus menerima takdir: Tak ada lagi biruku!
Bagi abang tukang bakso yang tak mengenal SBY mungkin saja ia tak
peduli apa pun yang menimpa “rekannya” sesama pedagang bakso itu. Akan
tetapi tukang bakso zaman sekarang yang telah melek informasi tentu saja
akan masygul mendapatkan fakta bahwa model managemen tukang bakso yang
diterapkan SBY sama sekali tidak menarik, bahkan salah. Salah-salah
ketika tukang bakso telah menggunakan asas managemen baru, Partai
Demokrat justru kebalikannya: Mempercayakan semua masalahnya ke tangan
satu orang. Mungkin disertai harapan supaya dirinya tidak dihujat
sebagaimana diterima Anas.
By dadang kusnandar
http://beningpost.com/read/5671/sby-bak-tukang-bakso
(msm)